“Para koruptor sejatinya ‘menghaluskan’ bahasa saja agar istilahnya
tidak seram. Padahal sejatinya aktivitasnya sama, yakni mengambil harta
negara dengan cara yang bathil dan haram,” tegasnya.
Lebih lanjut, menurut tokoh muda Islam HTI ini menjelaskan menurut
hasil temuan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), sejak 2009 hingga 2012
telah terjadi kebocoran anggaran yang fantastis, mencapai 83 kali lipat
(bisnis.com, 22/3/14).
Pada 2009, kebocoran anggaran disebutkan senilai Rp2,1 triliun dan
pada 2012 nilai itu melejit menjadi Rp177 triliun. Selain itu dalam tren
penaikan tersebut, dari data yang dikeluarkan Forum Indonesia untuk
Transparansi Anggaran (FITRA), lembaga BUMN tiap tahunnya mencatat angka
kebocoran yang meningkat. Puncaknya terjadi pada 2012 yang mencapai
Rp77,8 triliun.
“Lebih parahnya, lembaga kementerian, terhitung sejak 2009, di
bawah BUMN, mencatat kebocoran Rp968 miliar. Pada 2012, kebocoran
anggaran di kementerian melonjak hingga Rp54,7 triliun. Jadi,
sebagaimana temuan BPK, tiap tahunnya meningkat 20%. Untuk tingkatan
pemda, pada 2009 terjadi kebocoran Rp922 miliar, dan pada 2012 nilainya
melonjak menjadi Rp44,6 triliun. Sungguh mengerikan! ” tandasnya.
Masih menurut tokoh muda yang juga menjadi Ketua DPP HTI ini,
melihat realitas kejadian di atas maka istilah kebocoran sangat tidak
benar. Yang ada adalah perampokan keuangan negara. Apalagi menurut hasil
pengamatan FITRA yang disampaikan Direktur Investigasi dan Advokasi
Ucok ‘Sky’ Khadafi, ternyata kebocoran disebabkan biaya politik yang
mahal.
“Perampokan terhadap uang negara terjadi karena partai sendiri
tidak punya anggaran, terpaksa merampok atau mengambil dari APBN melalui
orang-orang mereka, baik di eksekutif maupun legislatif untuk menutupi
biaya politik yang ada,” ujarnya.
Oleh karena itu, menurut kesimpulan Gus Uwik demokrasi dan
pemerintahan yang ada telah melegalkan dan melahirkan ‘biaya politik’.
Padahal justru dengan adanya biaya politik inilah, terjadi pragmatisme
dan menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkan ‘modal’ biaya
politik tersebut.
“Jadi, perampokan uang negara sejatinya muncul karena sistem
demokrasi itu sendiri. Demokrasilah yang mendorong para politisi dan
pejabat pemerintahan untuk korup. Ujungnya rakyat menjadi tumbal. Jika
perampokan uang negara terjadi secara sistemik, kenapa masih
mempertahankan demokrasi itu sendiri?” tanyanya.
Oleh sebab itu, menurut tokoh muda bogor ini, inilah pentingnya
perjuangan penegakan syariat Islam dalam bingkai Khilafah yang nantinya
akan mengganti sistem demokrasi. Dalam syariat Islam, mengorupsi
hukumannya tegas, yakni bukan di potong tangannya. Jika uang yang
dikorupsi dalam jumlah besar, bahkan menggangu keuangan negara maka
hukumannya bisa hukuman mati. Dimana sebelumnya namanya diwartakan ke
seluruh negeri bahwa ‘si fulan’ adalah koruptor.
“Dengan beratnya hukuman maka akan menjadi pencegah bagi yang lain
untuk menirunya. Jadi secara sistem, syariat Islam mencegah praktik
korupsi,” jelasnya.[]
0 comments:
Post a Comment