Pertanyaan:
Dalam buku Nizham al-Ijtima’i, dinyatakan pada halaman 51 baris sebelum terakhir, “…tidak perlu menutup kedua kaki karena keduanya tertutupi.” Apakah kalimat ini berarti tidak wajib mengenakan apa yang menutupi “kedua kaki” di bawah pakaian kehidupan umum?
Lalu pada halaman 51 baris ke-8
dikatakan, “…sebab pakaian luas yang diulurkan ke bawah hingga kedua
kaki adalah fardhu.” Tidakkah kata “hattâ
(hingga)” di sini mengisyaratkan tidak masuknya kedua kaki dalam tutup
“jilbab”. Ini dari sisi bahasa. Jika tidak, paragraf sebelumnya
menegaskan wajibnya menutupi, tetapi untuk perbaikan secara bahasa
bukankah lebih utama dikatakan “hattâ asfali al-qadamayn (hingga bawah kedua kaki)” lebih dalam?
Jawaban:
Kalimat pertama dari pertanyaan, “…tidak perlu wanita menutupi kedua kaki dan kedua kaki itu tertutup”
itu benar adanya. Itu berarti tidak perlu wanita mengenakan pakaian
yang menutupi kedua kakinya di bawah pakaian kehidupan umum jika
pakaian kehidupan umum itu terjulur ke tanah sejengkal atau sehasta
tidak lebih seperti yang ada di paragraf itu secara utuh.
Dulu kaum perempuan khususnya di
kampung, berjalan bertelanjang kaki atau memakai terompah atau yang
serupa yang tidak menutupi kedua kakinya seluruhnya. Kedua kaki
perempuan itu terlihat kecuali ia mengulurkan pakaiannya sampai tanah
supaya tidak terlihat kedua kakinya selama ia berjalan. Ketika
Rasulullah saw. melarang mengulurkan pakaian karena sombong, Ummu
Salamah melihat bahwa perempuan jika pakaiannya tidak terulur sampai
tanah, ketika dia berjalan dan menggerakkan kedua kakinya pada saat
berjalan, maka kedua kakinya terlihat. Hal itu karena kedua kaki itu
tidak tertutup dan perempuan itu berjalan bertelanjang kaki atau memakai
terompah yang tidak menutupi kedua kakinya. Karena itu Ummu Salamah
bertanya kepada Rasulullah saw., “Lalu bagaimana perempuan memperlakukan ujung pakaiannya?” Pasalnya,
perempuan waktu itu jilbabnya diulurkan sampai menyentuh ke tanah agar
kedua kakinya tidak terlihat. Lalu Rasulullah saw. membolehkan mereka
untuk mengulurkannya sejengkal, kemudian sehasta, melebihi kedua kaki.
Dengan begitu, jika perempuan itu berjalan bertelanjang kaki tidak
terlihat kedua kakinya selama pakaiannya diulurkan melebihi kedua
kakinya sampai menyentuh tanah.
Dengan demikian topiknya adalah mengulurkan pakaian untuk menutupi kedua kaki. Dengan ungkapan lain, mengulurkan jilbab sampai tanah melebihi kedua kaki itu adalah untuk menutupi kedua kaki. Jadi, ‘illat mengulurkan pakaian sampai tanah sebagai tambahan atas irkha’
adalah menutupi kedua kaki. Karena itu jika kedua kaki tertutup maka
tidak perlu mengulurkan pakaian sampai tanah, tetapi cukup agar memenuhi
makna mengulurkan (al-idnâ’) yakni al-irkhâ’ yang dinyatakan di dalam QS al-Ahzab (33) ayat 59.
Adapun dari mana Ummu Salamah mengukur
sejengkal atau sehasta, maka masalahnya adalah “mengulurkan pakaian
sampai tanah”. Inilah yang ditanyakan oleh Ummu Salamah. Ummu Salamah
melihat bahwa jika pakaian tidak diulurkan sampai ke tanah maka kedua
kaki akan terlihat ketika perempuan berjalan. Ini benar. Pakaian itu,
jika tidak diulurkan sampai ke tanah sedikit, dan seorang perempuan
berjalan bertelanjang kaki atau memakai terompah yang tidak menutupi
kaki, maka perempuan itu saat berjalan akan terlihat kedua kakinya.
Karena itu Rasulullah saw. mengijinkan perempuan mengulurkan pakaiannya
sejengkal sampai ke tanah. Kata “jarra (mengulurkan)” berarti
sampai tanah. Ini menunjukkan bahwa sejengkal yang diulurkan sampai ke
tanah itu dari bawah (ujung-telapak) kaki.
Namun, jika kaki telah tertutup dengan kaos kaki maka cukuplah irkha’
(mengulurkan) jilbab ke bagian atas kaki yang tertutup dengan kaos
kaki, yakni cukup sampai kedua mata kaki selama kedua kaki itu tertutup
[Kutipan Nasyrah Soal-Jawab Amir HT/Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, 12
April 2014 M/Hizb-ut-tahrir.info]
0 comments:
Post a Comment