Oleh: Bintoro Siswayanti, S.T, M.Si (Lajnah Mashlahiyyah MHTI)
Pendahuluan
Angka kekurangan perumahan, backlog, tahun ini ditaksir
mencapai 15 juta unit (1). Apabila jumlah anggota keluarga 4 atau 5
orang, berarti terdapat 60 juta penduduk atau 75 juta penduduk tidak
mendapatkan hak fungsi rumah. Ini jelas jumlah yang tidak dapat
dikatakan sedikit. Padahal rumah termasuk kebutuhan pokok.
Saat ini, rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) merupakan
sesuatu yang mahal. Memang masih ada rumah di kisaran harga 100 juta
rupiah, namun lokasinya jauh dari pusat kota/pusat perekonomian.
Sehingga ketika mereka memutuskan mencicil pembelian rumah tersebut
harus siap dengan resiko peningkatan biaya transportasi dan keterbatasan
akses moda transportasi ke tempat kerja.
Harga rumah manjadi relatif mahal karena pasar perumahan diserahkan
secara penuh kepada mekanisme liberal. Harga relatif mahal itu masih
ditambah lagi aktivitas para pebisnis ketika melihat tingkat kebutuhan
perumahan jauh lebih tinggi dari tingkat penyediaan perumahan, sehingga
pembelian rumah bagi mereka bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan papan
melainkan untuk kebutuhan investasi.
Kebijakan Yang Kian Liberal
Berbagai upaya dilakukan pemerintah agar semua rakyat mendapat hunian layak, namun data BPS menunjukkan angka kekurangan rumah, backlog,
tiap tahun tidak menunjukkan penurunan bahkan terus meningkat. Hal
tersebut karena pemerintah tetap mempertahankan kebijakan mekanisme
pasar yang pro liberal. Bahkan pemerintah justru terlibat dalam bisnis
pasar kapitalistik. Akibatnya, berbagai kebijakan tersebut tidak mampu
menyelesaikan persoalan kelangkaan rumah.
Salah satu kebijakan utama pemerintah saat ini terkait perumahan
adalah program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Program
yang digulirkan Badan Layanan Umum – Pusat Pembiayaan Perumahan
(BLU-PPP) Kemenpera ini bertujuan menyalurkan dana murah untuk
pembiayaan rumah pertama tipe Rumah Sejahtera bagi MBR. Pembiayaan dana
murah maksudnya adalah suku bunga yang ditetapkan lebih rendah, cicilan
tetap (fixed rate mortgage), serta masa pengembalian cicilan
pinjaman lebih panjang daripada pinjaman bank. Rumah sejahtera yang
difasilitasi pembiayaannya oleh FLPP untuk wilayah Jabodetabek berharga
maksimum Rp 95.000.000,- untuk KPR Sejahtera Tapak dan maksimum
Rp.216.000.000,- untuk KPR Sejahtera Susun dengan luas lantai 21m2 – 36m2 (2).
Artinya, program yang diluncurkan BLU-PPP sesungguhnya adalah untuk
membangun pasar keuangan, melalui fasilitas kredit bagi masyarakat. Jadi
bukan mengatasi persoalan mahalnya harga rumah. Meskipun pasar keuangan
yang dibangun program tersebut lebih murah daripada pasar keuangan
perbankan umumnya.
Perlu dicatat, prinsipprinsip Good Governance menjadi dasar dalam pelaksanaan pengelolaan dan pemanfaatan dana FLPP (3),
sebagaimana program restrukturisasi reformasi dan struktural yang
diusung IMF, yakni bertujuan mengurangi “subsidi”. Dalam hal ini
pemerintah mengubah kebijakan APBN untuk alokasi perumahan yang awalnya
berupa pos belanja subsidi, menjadi pos pembiayaan investasi sejak tahun
2010. Alokasi pembiayaan fasilitas liquid tersebut merupakan alokasi
bukan dana habis dan juga revolving fund (3). Artinya,
pemerintah menghentikan pemberian “subsidi” perumahan dan menggantinya
dengan memberikan pinjaman bergulir bagi rakyat untuk jangka panjang dan
berbunga rendah, sehingga setelah beberapa periode tertentu pembiayaan
dari APBN semakin berkurang dan terus mengecil sampai akhirnya tidak
perlu ada alokasi anggaran pembiayaan lagi. Perubahan konsep kebijakan
pelayanan perumahan tersebut, “subsidi” menjadi FLPP dipandang penting
oleh pemerintah karena akan mengatasi keterbatasan dana pemerintah.
Dalam hal penyediaan perumahan, selain oleh pengembang swasta,
Pemerintah membangun Perum Perumnas berupa Badan Usaha Milik Negara,
BUMN, yang berarti kinerja Perum Perumnas dinilai dari besaran profit, bukan kinerja pelayanannya.
Kebijakan-kebijakan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah semakin
tidak menjalankan fungsi pelayanan yang semestinya. Baik ditaran konsep
maupun di tataran implementatif sesungguhnya pemerintah mengkomersialkan
pelayanan perumahan. Hal ini sejalan dengan konsep pengelolaan
keuangan publik, sebagai termaktub dalam UU No.17/2003 tentang Keuangan
Negara (4). Yaitu, “Mewiraswastakan pemerintah (enterprising the government)
adalah paradigma yang memberi arah bagi sektor pengelolaan keuangan
public” (4). Salah satu aplikasinya adalah pembentukan BLU.
Lebih jauh lagi, pembentukan BLU sesungguhnya adalah bagian agenda Good Governance ala neolib. Ide-ide Good Governance
itu sendiri apabila dicermati hanyalah dalam rangka semakin
mengeksiskan sistem politik demokrasi. Berdalih pelayanan publik tidak
dimonopoli birokrasi negara, disaat yang sama Negara justru
menfasilitasi korporasi untuk mengelolanya dan negara juga turut
membentuk BLU, termasuk dalam hal ini pelayanan perumahan. Oleh karena
itu, tidak heran ketika lembaga donor dan keuangan internasional seperti
IMF dan Bank Dunia menjadikan pelaksanaan reformasi Good Governance
sebagai salah satu aspek kriteria yang perlu dipertimbangkan dalam
memberikan bantuan baik berupa pinjaman ataupun hibah kepada institusi
pemerintah (5).
Di sisi lain, kebijakan Bank Indonesia yang menetapkan batasan pinjaman bank atas nilai rumah ke dua dan seterusnya, loan to value (LTV), juga
tidak mengatasi mahalnya harga rumah. Kebijakan ini hanya dimaksudkan
untuk mengurangi jumlah permintaan perumahan dari para investor
perumahan/hunian dengan harapan apabila jumlah permintaan menurun maka
harga bisa ikut turun. Kebijakan LTV yang diberlakukan sejak akhir 2013
memang menurunkan laju penjualan rumah tipe kecil, namun tidak
menurunkan harga hunian. Kenaikan harga diperkirakan akan terus
berlanjut pada tahun ini. Bahkan, secara triwulanan, kuartal I 2014
meningkat lebih tinggi 2,56 persen dibanding kuartal IV 2013 (6).
Tata Kelola Perumahan Khilafah Yang Menyejahterakan
Tata kelola pembangunan perumahan Khilafah memungkinkan sebagian
besar rakyat memiliki rumah tanpa harus menggantungkan diri pada subsidi
negara dan juga tanpa menggantungkan diri pada pinjaman dari pasar
finansial yang keberadaan pasar finansial ini, sebagaimana yang
digulirkan BLU-PPP, justru diharamkan dalam sistem ekonomi islam karena
berbasis riba.
Pemenuhan kebutuhan rumah oleh para kepala keluarga dan para wali
keluarga menjadi mudah dalam sistem Khilafah karena Negara Khilafah
tidak hanya berperan sebagai regulator, namun Khilafah juga memiliki
wewenang dan tanggung jawab penuh dalam tata kelola perumahan sehingga
memfasilitasi setiap orang untuk mudah memenuhi kebutuhan perumahan baik
melalui usaha individu maupun dengan pemberian Negara.
Tata kelola pembangunan perumahan Khilafah didasarkan pada sudut
pandang bahwa bumi ini milik Allah SWT. Sehingga pemerintah dan
masyarakat wajib terikat pada syariat Allah dalam penggunaannya. Hal
ini menjadikan tata kelola perumahan Khilafah tercegah dari liberalisasi
lahan. Yaitu, salah satunya melalui ketentuan pengelolaan lahan.
Tidak dibiarkan seorang pun termasuk pengembang properti menahan dan
mengabaikan tanahnya bertahun-tahun dengan tujuan untuk mendapat
keuntungan peningkatan nilai investasi. Apabila pemilik tanah tidak
memanfaatkan tanahnya atau dibiarkan tanpa dikelola selama tiga tahun,
maka negara akan mengambil tanah tersebut dan diberikan kepada yang lain
yang bisa mengeluarkan manfaat tanah tersebut (7). Rasulullah saw telah
menegaskan melalui tuturnya yang mulia, yang artinya: “Siapa yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya dia menanaminya, atau hendaknya diberikan kepada saudaranya. Apabila dia mengabaikannya, maka hendaknya tanah itu diambil”. (H.R. Bukhari).
Tata kelola pembangunan perumahan Khilafah didasarkan pada sudut
pandang bahwa bumi ini milik Allah SWT, mengharuskan pula Khilafah
mengelola sumber daya alam di atas prinsip-prinsip yang sesuai dengan
syari’at. Hal ini pula yang mencegah bahan dasar konstruksi
terliberalisasi. Yaitu Allah menetapkan sumber daya alam yang jumlahnya
melimpah merupakan harta milik umum yang tidak boleh dikuasai oleh
individu (swasta) dan asing (7). Larangan menguasai barang tambang yang
melimpah bagi individu ditunjukkan oleh hadis Nabi SAW dari Imam
At-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Abyadh bin Hamal, bahwa ia telah
meminta kepada Rasulullah saw untuk dibolehkan mengelola sebuah tambang
garam. Lalu Rasulullah saw memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang
laki-laki dari majelis tersebut bertanya: Wahai Rasulullah, tahukah
engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah
memberikan sesuatu bagaikan air yang mengalir. Rasulullah saw kemudian
menarik kembali tambang tersebut darinya. (HR. At-Tirmidzi).
Negara berkewajiban mengatur semua sektor perindustrian dan menangani
langsung jenis industri yang termasuk ke dalam pemilikan umum (8).
Industri yang mengelola produk yang sifatnya merupakan harta milik umum
merupakan industri milik umum. Sehingga industri besi, industri minyak
bumi dan gas bumi beserta derivat-derivatnya misal paraxylene, dsb.
ditetapkan sebagai industri milik umum. Dengan demikian industri milik
umum tersebut mampu menyediakan bahan baku dasar konstruksi bagi
masyarakat, baik dari aspek availability, accessibility, maupun continuity.
Negara mengelola industri turunan seperti industri hilir meskipun
negara tidak menanganinya secara langsung, dalam hal ini membolehkan
swasta untuk menangani industri yang sifat kepemilikan produknya dapat
dimiliki individu seperti paku, cat, dsb. Disisi lain negara akan
mencegah investasi dan pengelolaan modal asing ke dalam negeri. Sehingga
dengan kebijakan politik industri tersebut industri-industri hilir dan
industri kecil di dalam negeri akan tumbuh subur menangani produksi
bahan-bahan konstruksi.
Kebijakan politik tersebut meniscayakan sumber daya alam yang
berlimpah ruah di negeri ini, seperti gunung kapur, hutan, migas,
bauksit sumber alumunium, bijih besi laterit, limonit dan pasir besi
titan, saprolit bijih nikel, ilmenit sumber titanium oksida, bijih
timah, dan sebagainya, dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Hasil
dari kebijakan tersebut adalah semen, kayu, cat, fiber, bahan-bahan
plastik dan polymer lainnya, besi, baja, seng, zincalum, paku, baut,
nikel, bahan las, dan lain-lain, tersedia dengan harga yang dapat
dijangkau oleh masyarakat.
Disamping itu ketika liberalisasi dicegah oleh Khilafah, maka rakyat
akan mudah mengakses langsung sumber daya alam lokal. Rumah-rumah adat
negeri ini terbukti lebih tahan bencana gempa dari pada rumah ‘modern’
sebab nenek moyang kita dibentuk oleh kearifan lokal dalam memanfaatkan
sumber daya alam lokal yang ada. Kemudahan mengakses sumber daya alam
lokal tersebut memunculkan berbagai variasi jenis rumah yang tidak
melulu mengikuti trend set opini rumah modern berupa rumah beton.
Lebih dari itu ketika liberalisasi tercegah dan kebijakan sistem
pemerintahan Khilafah yang meniscayakan distribusi pembangunan secara
merata, maka setiap wilayah di daerah akan mampu mengeluarkan sumber
daya alamnya untuk kesejahteraan rakyat. Dengan demikian pembangunan dan
sumber-sumber ekonomi tidak terkonsentrasi di titik-titik tertentu
saja, yang mendorong terjadinya urbanisasi. Sehingga perumahan yang
menyejahterakan setiap individu rakyat benar-benar dapat terwujud.
Wallahu’alam. []
Referensi :
- Kompas.com, 18/01/2014, Kemenpera Kebingungan Tentukan Angka “Backlog” Rumah
- http://pembiayaan.kemenpera.go.id/apaituflpp.html
- Inforum Edisi 2, 2010, Reformasi Pembiayaan Perumahan Melalui Fasilitas Liquiditas.
- http://www.ppkblu.depkeu.go.id/index.php/halaman/20/organi .
- United Nation Economic and Social Commission for Asia and The
Pasific, Juli 2009, What Is Good Governance?,
http://www.unescap.org/resources/what-good-governance
- http://properti.kompas.com/read/2014/02/13/1818453/Harga.Rumah.Tak.Akan.Turun.
- Taqyuddin An-Nabhani, 2004, Nizham Iqtishady fil Islam, Hizbut Tahrir
- Taqyuddin An-Nabhani, 2001, Nizham Islam, Hizbut Tahrir
0 comments:
Post a Comment