Pendahuluan
Akhir-akhir ini pembicaraan tentang demokrasi semakin santer. Apalagi
jika dikaitkan dengan pelaksanaan pemilu 9 April mendatang. Salah satu
terobosan baru yang berhasil dilakukan pemerintah dalam mempersiapkan
pemilu mendatang adalah upaya melibatkan pemuda (pelajar dan mahasiswa)
sebagai pengawas pemilu. Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Muhammad
telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan (Mendikbud), Mohammad Nuh tentang Peningkatan Partisipasi
Aktif Pelajar dan Mahasiswa dalam Pengawasan Pemilu 2014 pada hari
Kamis tanggal 6 Maret 2014 di Hotel Grand Sahid, Jakarta. Tujuannya
selain untuk meningkatkan kesadaran berpolitik (yakni untuk mengenal
substansi demokrasi dan politik) juga untuk meningkatkan angka
partisipasi pemilu.
Perekrutan ini dianggap sangat dibutuhkan karena peran mahasiswa
dalam pemilu adalah sebagai kalangan intelektual yang memiliki idealisme
dan semangat yang tinggi sekaligus sebagai agen perubahan serta agen
pengawasan. Karena itu mahasiswa yang terlibat disyaratkan sudah
semester lima, sudah berumur 17 tahun dan berindeks prestasi kumulatif
3.0. Program ini sejalan dengan Gerakan Sejuta Relawan Pengawas Pemilu
yang dimotori oleh Bawaslu. Gerakan ini merupakan terobosan dan
implementasi dari program pengawasan partisipatif. Gerakan ini hendak
mentransformasikan gerakan moral (moral force) menjadi gerakan sosial (social movement).
Istilah Sejuta Relawan bukanlah menunjukkan jumlah, namun menunjukkan
betapa besar dan massifnya gerakan ini. Siapapun, terutama mereka yang
mempunyai jiwa sosial dan pengabdian kepada masyarakat, negara, dan
bangsanya diharapkan mendedikasikan dirinya menjadi relawan, karena pada
dasarnya setiap orang mempunyai potensi dan kemampuan. (http://www.bawaslu.go.id)
Bertahan Tanpa Dukungan Rakyat
Berbagai terobosan dibuat oleh pemerintah dan bawaslu, khususnya,
untuk mempertahankan sistem demokrasi yang pelaksanaannya nampak dalam
pemilu. Pemerintah telah memasang target partisipasi pemilih pada Pemilu
2014 mencapai 75 persen. Survei yang digelar Kementerian Koordinator
Bidang Politik Hukum dan Keamanan diklaim telah memetakan partisipasi
pemilih pada level 73 persen. Dan diharapkan masih bisa meningkat
menjadi 75 persen.
Tidak berlebihan jika pemerintah masih berharap angka ini bisa
ditingkatkan. Besarnya harapan ini diletakkan pada pemilih pemula. Sebab
dalam pemilu 2014 ini jumlah pemilih pemula mencapai angka yang cukup
besar. Jika pada pemilu 2004, jumlah pemilih pemula sekitar 27 juta
dari 147 juta pemilih dan pada pemilu 2009 sekitar 36 juta pemilih dari
171 juta pemilih, maka data BPS 2010 menunjukkan jumlah penduduk usia
15-19 tahun: 20.871.086 orang, usia 20-24 tahun: 19.878.417 orang.
Dengan demikian, jumlah pemilih muda sebanyak 40.749.503 orang. Dalam
pemilu, jumlah itu sangat besar dan bisa menentukan kemenangan partai
politik atau kandidat tertentu yang berkompetisi dalam pemilihan umum.
Sementara itu berdasarkan data yang dirilis KPU, jumlah total pemilih
yang telah terdaftar untuk pemilu tahun 2014 adalah sejumlah 186.612.255
orang penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut 20-30%nya adalah pemilih
pemula.
Upaya meningkatkan angka partisipasi pemilu merupakan bagian dari
penjagaan terhadap sistem demokrasi itu sendiri. Ini telah disampaikan
Mendikbud M. Nuh di sela acara “Rembuk Nasional Pendidikan dan
Kebudayaan” (RNPK) 2014, ”Bangsa ini telah sepakat mengambil jalur
demokrasi sebagai mekanisme penentuan pemimpin ke depan. Jadi, melek
terhadap pemilu atau politik itu sangat penting. Para pelajar dan
mahasiswa perlu mendapat informasi tentang proses demokrasi, termasuk
melibatkan mereka menjadi bagian yang dapat menyukseskan pemilu.”
Padahal fakta di lapangan menunjukkan semakin turunnya angka
partisipasi pemilu. Pasca reformasi, jumlah pemilih yang tidak ikut
memilih dalam Pemilu alias golongan putih (golput) terus mengalami
kenaikan. Jika pada Pemilu 1999 angka golput sekitar 10,21 persen, maka
pada Pemilu 2004 mencapai 23,34 persen, dan pada Pemilu 2009 angkanya
meningkat menjadi 29 persen. (http://www.bawaslu.go.id).
Selain itu hasil survei yang dilakukan pemerintah terkait partisipasi
pemilih jauh berbeda dengan survei-survei yang ada selama ini. Terakhir
pada Januari 2014, survei Institut Riset Indonesia memprediksi tingkat
partisipasi pemilih pada Pemilu Presiden 2014 menurun dibandingkan
Pemilu Presiden 2009, menjadi 51,3 persen. Partisipasi pemilih pada
pemilu setelah reformasi terus mengalami penurunan. Berturut-turut,
Pemilu 1999 mencatatkan angka partisipasi 92,74 persen, 2004 mencapai
84,07 persen, 2009 mencapai 79 persen. (http://nasional.kompas.com)
Tak hanya partisipasi pemilih, ternyata animo masyarakat untuk
mengawasi pelaksanaan Pemilu juga menurun. Jumlah pemantau pada Pemilu
1999 sebanyak 220.000, tahun 2005 sebanyak 80.000, terus menurun menjadi
hanya 3.000 pada Pileg 2009 dan 10.500 pada Pilpres 2009. Secara
kelembagaan, pengawasan masyarakat juga menurun. Contohnya, KIPP (Komite
Independen Pemantau Pemilu) Jakarta tahun 1999 memiliki 13.260 relawan,
namun hanya memiliki 145 relawan pada 2004 dan sekitar 250 relawan pada
tahun 2009. (http://news.detik.com).
Buah Demokrasi: Merusak Tatanan Masyarakat
Semua data di atas menunjukkan bahwa semangat pemerintah untuk tetap
mempertahankan sistem demokrasi tidak sepenuhnya didukung oleh
masyarakat. Masyarakat sudah mulai bisa menilai dan melihat kebobrokan
demokrasi sekalipun ditutup-tutupi dan dikemas dengan cantik. Demokrasi
memang memberikan kebebasan bagi pengusungnya, termasuk kebebasan untuk
membuat hukum. Inilah intisari demokrasi, pemerintahan dari, oleh, dan
untuk rakyat yang sejatinya adalah menyerahkan urusan membuat hukum dan
undang-undang ke tangan manusia. Fungsi legislatif adalah membuat
undang-undang, baik untuk kepentingan pribadi, partai maupun kepentingan
asing yang memungkinkan untuk terjadinya tarik ulur pasal atau upaya
untuk mempermainkan pasal-pasal yang ada untuk suatu tujuan tertentu.
Contoh RUU KKG, UU Migas, UU Minerba, UU Sumber Daya Air dan sebagainya.
Masyarakat sebenarnya sudah muak dengan segala kebobrokan akibat
demokrasi. Mahalnya biaya pemilu membuat celah untuk terjadinya korupsi.
Bagaimana tidak melakukan korupsi jika modal untuk menjadi caleg saja
sekitar Rp 1,8 M sampai Rp 8 M, bahkan ada yang harus merogoh kocek
sampai Rp 20 M. (liputan 6.com). Sedangkan gaji anggota legislatif saja
selama 5 tahun menjabat masih kurang untuk menutupi modal yang
dikeluarkan. Wajarlah jika tidak korupsi para caleg harus mencari jalan
lain, bahkan sampai melakukan tindakan kriminal seperti merampok bank.
Disamping korupsi, pemilu juga memicu munculnya konflik-konflik antar
kelompok masyarakat dan antar partai baik secara terbuka maupun
tersembunyi melalui paranormal. Bayangkan pertarungan yang sangat keras
akan terjadi antara caleg, sebab dari 200.000 caleg yang mendaftar hanya
19.000 yang akan jadi. Bisa dipastikan akan ada sekitar 180.000 caleg
yang gagal. Karena itu tak cukup persaingan ini dilakukan sekedar
mengandalkan kampanye yang sudah menguras isi kantong. Sehingga tak
tanggung-tanggung para caleg ini menggunakan jalur lain untuk
mendapatkan kemenangan. Mendatangi makam keramat, mandi kembang, ngalap
berkah, menyembah pohon dan sebagainya menjadi ritual baru yang
dimunculkan oleh para caleg. Budaya mistis dan syirik yang harusnya
dihilangkan kini ditumbuhsuburkan oleh calon pemimpin negeri ini.
Wajarlah jika kepercayaan masyarakat semakin menurun.
Kepentingan Barat Terhadap Demokratisasi di Indonesia
Jadi harus dipahami bahwa demokrasi bukanlah sekedar pemilu. Wajah
demokrasi yang sebenarnya adalah penyerahan kedaulatan untuk membuat
undang-undang ke tangan manusia. Maka ketika para penguasa negeri ini
mengikuti pola pikir demokrasi ala Barat dala membuatUU dan kebijakan,
maka sangat mudah bagi Barat untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia. Di
sisi lain, Barat ternyata sangat paiwai membutakan mata penguasa
Indonesia dengan berbagai pujian dan meminta Indonesia untuk tetap
berjalan on the track sesuai yang diinginkan barat.
Menjelang pemilu 2014 ini, Wakil Kepala Bidang Politik Kedutaan Besar
(Kedubes) AS, Graig L. Hall menyebut Indonesia sebagai teman dekat
dalam berdemokrasi. Indonesia merupakan Negara demokrasi terbesar ketiga
di dunia setelah India dan AS. Karena itu AS ingin belajar bagaimana
cara meningkatkan partisipasi pemilih sebab faktanya angka partisipasi
pemilih di AS sangat rendah, kurang dari 50 persen. (http://www.pikiran-rakyat.com)
Scot Alan Marciel, Dubes AS untuk Indonesia, memuji demokrasi yang
berjalan di Indonesia dewasa ini. Dengan karakter ini, kata Scot,
Indonesia mengalami kemajuan pesat selama 10 tahun terakhir ini. Bukan
saja di pemerintahan tapi juga dalam segala bidang. Apalagi, kata dia,
Presiden Obama menaruh perhatian besar pada kawasan Asia dan siap
menjalin kerjasama dengan negara-negara di Asia dalam segala bidang,
termasuk pertahanan. (detik.com).
Pujian tersebut sekaligus merupakan upaya memastikan Indonesia
sebagai mitra demokrasi yang diharapkan bisa memuluskan upaya
penjajahannya di wilayah Asia. Karena itu berbagai program untuk itu
terus diopinikan tak hanya untuk stakeholder tapi juga pada
generasi muda yang akan melanjutkan estafet pembangunan. Hal ini nampak
dengan sangat jelasnya pada tulisan William Blum (mantan staf Kementrian
Luar Negeri AS) yang menelanjangi kebobrokan dan bahaya demokrasi dalam
bukunya yang berjudul “America’s Deadliest Export Democracy” (Demokrasi Racun Amerika Yang Paling Mematikan).
Jadi jika pelajar dan mahasiswa direkrut untuk menjadi pengawas
pemilu yang ujung-ujungnya akan menjadi aktor penjual bangsa atas nama
demokrasi, maka adakah sebutan lain untuk mereka ini selain jadi tumbal
demokrasi? Dan jika ini yang kelak bakal terjadi masihkah kita berharap
pada demokrasi? []
0 comments:
Post a Comment