[Al-Islam edisi 699, 26 Jumadul Awal 1435 H – 28 Maret 2014 M]
Sering disebarkan bahwa Islam dan demokrasi itu sejalan. Dengan
alasan, salah satu hakikat demokrasi adalah syura dan musyawarah, yang
dalam Islam disyariatkan. Benarkah demokrasi sejalan dengan Islam? Untuk
itu penting kiranya diperbandingkan antara syura dan prakteknya dalam
demokrasi dan dalam Islam.
Syûrâ
Musyâwarah secara bahasa merupakan mashdar (gerund) dari syâwara yang artinya thalabu ar-ra`yi min al-mustasyâr (meminta pendapat dari yang dimintai pendapat). Al-Fara’ berkata: “al-masyûrah asalnya adalah masywarah kemudian diubah menjadi masyûrah untuk meringankan pelafalan.” (Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, II/379-381) Ibn Manzhur melanjutkan, “dikatakan masyûrah adalah asy-syûrâ dan al-masyûrah, dan begitu pula al-masywarah. Anda katakan, “syâwartuhu fî al-amri artinya istasyartuhu –saya meminta pendapatnya-.”
Secara istilah, menurut ar-Raghib, al-masyûrah adalah
mengekstrak kesimpulan dengan jalan mengembalikan sebagian kepada
sebagian yang lain. Dr. Mahmud al-Khalidi menyimpulkan, syura adalah
berkumpulnya orang untuk mengambil kesimpulan dengan mengungkapkan
berbagai pendapat dalam satu masalah agar memperoleh petunjuk untuk
membuat keputusan.
Menurut syara’, musyâwarah atau syûrâ adalah pengambilan pendapat secara mutlak. Sementara masyûrah merupakan pengambilan pendapat yang bersifat mengikat untuk dilaksanakan.
Musyawarah Dalam Demokrasi
Musyawarah dan mengambil pendapat rakyat/wakilnya dalam demokrasi
merupakan keharusan dan dijadikan tolok ukur demokratis dan tidaknya
penguasa. Demokrasi dalam sejarah munculnya merupakan antitesis dari
kepemimpinan otoriter dan tirani pada masa kerajaan Eropa dimana segala
keputusan dan hukum jadi hak raja berkolaborasi dengan para pendeta.
Maka pelibatan rakyat atau wakil rakyat dalam pembuatan UU dan kebijakan
dalam segala perkara dijadikan tolok ukur tingkat kedemokratisan
penguasa.
Dalam demokrasi, musyawarah dilakukan dalam segala hal. Semua urusan
dan perkara bisa menjadi obyek musyawarah. Pembuatan kebijakan dan
penetapan hukum juga menjadi obyek musyawarah.
Dalam musyawarah, hal terpenting adalah mekanisme pemilihan pendapat
dan pengambilan keputusan. Demokrasi menetapkan, pemungutan suara atau
voting sebagai mekanisme baku pengambilan keputusan. Pendapat mana yang
mendapat suara terbanyak, itulah yang dijadikan keputusan. Mufakat
berarti suara mayoritas mutlak.
Yang menjadi standar adalah banyaknya suara, tanpa membedakan benar
atau salah, tepat atau tidak. Bahkan, menilai benar salah, dan tepat
keliru, dalam demokrasi adalah mustahil atau sangat sulit, sebab tidak
ada rujukan tetap.
Voting itu dibangun di atas asumsi dasar bahwa setiap orang memiliki
hak suara yang sama, dan suara setiap orang derajatnya sama, tidak ada
yang lebih tinggi atau lebih utama dari lainnya. Jadi, dalam voting itu,
tingkat pendidikan, pengetahuan, keahlian, kepakaran, kebaikan pribadi,
penguasaan masalah, dsb, tidak berpengaruh. Dalam voting -metode
pengambilan keputusan dalam musyawarah demokrasi-, suara seorang
profesor sama dengan suara lulusan SMA, suara ahli sama dengan suara
orang awam, suara orang jujur sama dengan orang yang suka bohong, suara
orang amanah sama dengan suara orang yang suka ingkar janji dan khianat.
Dalam demokrasi, musyawarah dengan metode voting itu juga digunakan
dalam pelaksanaan kedaulatan atau kekuasaan legislatif membuat hukum dan
perundang-undangan. Rancangan undang-undang (RUU) yang diajukan oleh
pihak pemerintah atau parlemen sendiri, didiskusikan, diperdebatkan dan
dimusyawarahkan di sidang parlemen. Keputusan menjadi UU diambil
berdasarkan suara terbanyak. Jika mayoritas (minimal 50% + 1) setuju
maka, rancangan itu ditetapkan menjadi UU, dan sebaliknya jika mayoritas
tidak setuju maka tidak ditetapkan menjadi UU.
Proses yang sama juga dilakukan dalam pembahasan RAPBN dan RAPBD.
Proses yang sama juga dilakukan untuk memutuskan apakah pemerintah tetap
diberi kepercayaan atau tidak dan diberi mosi tidak percaya sehingga
dibubarkan dan selanjutnya dipilih pemerintah yang baru, seperti dalam
sistem demokrasi parlementer.
Dengan proses seperti itu, mudah dipahami jika sebuah UU, anggaran
dan bertahannya pemerintah, sejatinya merupakan kompromi dari beragam
pendapat, pengaruh dan kepentingan. Itulah syura dalam demokrasi.
Musyawarah Dalam Islam
Dalam Islam, syura atau musyawarah jelas disyariatkan. Allah SWT berfirman:
﴿…وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ …﴾
“…dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah…” (TQS Ali Imran [3]: 159)
Adh-Dhahak bin Muzahim berkata, “Tidaklah Allah memerintahkan
nabi-Nya bermusyawarah kecuali karena keutamaan yang ada di dalamnya.” (Tafsîr ath-Thabarî,
iv/152). Perintah kepada Nabi saw merupakan perintah kepada kita umat
beliau, terutama kepada khalifah/imam atau kepala negara dan penguasa
untuk bermusyawarah dalam berbagai urusan umat.
Para ulama menjelaskan bahwa hukum musyawarah adalah sunah. Di
dalamnya tersimpan banyak keutamaan. Al-Hasan berkata, “Tidaklah satu
kaum bermusyawarah kecuali ditunjuki kepada perkara mereka yang paling
lurus.” (Tafsîr ath-Thabari, iv/152)
Musyarawah itu disyariatkan dalam berbagai urusan. Lafazh al-amru
dalam firman Allah di atas bersifat umum mencakup berbagai perkara.
Namun, keputusan dalam musyawarah itu tidak semuanya diserahkan kepada
pendapat mereka yang bermusyawarah.
Hak mengambil keputusan itu diberikan kepada orang yang memiliki
wewenang dan yang meminta pendapat melalui syura. Firman Allah, “faidza ‘azamta
–maka jika kamu sudah membulatkan tekad-“. Jadi, Rasul diperintahkan
untuk bermusyawarah, dan wewenang menentukan keputusan pendapat mana
yang diambil diserahkan kepada Rasul saw. Itu artinya, yang berwenang
mengambil keputusan pendapat mana yang diambil adalah pihak berwenang
yang meminta pendapat.
Adapun terkait keputusan pendapat mana yang diambil, Islam memberikan ketentuan.
Pertama, dalam masalah hukum, keputusan semata bersandar
kepada syara’. Sebab kedaulatan adalah milik syara’. Pendapat manusia
dalam masalah ini tidak ada nilainya. Allah juga berfirman:
﴿ اتَّبِعُوا مَا أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ ﴾
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu …” (TQS al-A’raf [7]: 3)
Allah juga memerintahkan untuk mengambil apa saja yang dibawa oleh
Rasul dan meninggalkan apa saja yang dilarang oleh Rasul saw (QS
al-Hasyr [53]: 7). Dalam hal hukum yang jelas dinyatakan nash dan yang
qath’iy, maka tidak perlu musyawarah. Jadi masalah ini tidak boleh
diserahkan kepada pendapat manusia. Bahkan menyerahkan pembuatan hukum
kepada manusia, menurut Islam adalah haram dan merupakan suatu bentuk
penyekutuan (syirik) kepada Allah (lihat QS at-Tawbah [9]: 31 dan
penjelasan Rasul tentangnya misal dalam riwayat at-Tirmidzi). Ini
sekaligus menunjukkan bahwa musyawarah itu hanya dilakukan dalam perkara
mubah.
Kedua, dalam masalah hukum syara’ yang belum dijelaskan nash secara gamblang atau masalah zhanniyah/ikhtilafiyah,
hukum masalah baru yang muncul dan memerlukan solusi hukum dan untuk
itu perlu pembahasan dan penelaahan; juga dalam masalah definisi,
masalah keilmuan dan pemikiran yang memerlukan pengkajian dan
penelaahan; dan masalah yang termasuk dalam sabda Rasul “ar-ra’yu wa al-harbu wa al-makîdah
–pendapat, strategi dan siasat perang-“ yang memerlukan keahlian; maka
pendapat dalam masalah ini semua dirujuk kepada para mujtahid, para
ulama, intelektual dan para ahlinya. Keputusan pendapat mengikuti
pendapat yang paling kuat atau paling shawab (benar). Dalam hal
ini banyak sedikitnya suara tidak ada nilainya. Seperti sikap Rasul saw
yang mengikuti pendapat al-Hubab bin al-Mundzir dalam strategi
penempatan pasukan pada perang Badar, atau merujuk pendapat Salman
al-Farisi dalam penggalian parit pada perang Khandaq, dsb.
Ketiga, dalam masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan
suatu aktivitas dan dalam masalah ‘amaliyah (praktis) yang tidak perlu
pengkajian dan penelaahan, maka suara mayoritas dalam masalah ini
bersifat mengikat. Masalah inilah yang disebut masyûrah.
Contohnya seperti ketika Rasul saw bermusyawarah dengan para sahabat
pada perang Uhud tentang apakah berperang di dalam kota atau di luar
kota, dan lalu Rasul mengikuti pendapat mayoritas yang menghendaki
berperang di luar kota. Sementara dalam hal strategi perang pada perang
Uhud, Rasul tidak merujuk kepada pendapat mayoritas.
Syura Islam Berlawanan Dengan Demokrasi
Tampak jelas bahwa dalam demokrasi, syura menjadi keharusan dalam
semua perkara; syura dilakukan dalam penetapan hukum apapun; dan suara
mayoritas bersifat mengikat dalam segala hal.
Dalam Islam, syura hukumnya sunnah; umat Islam khususnya pemimpin dan
penguasanya dianjurkan untuk memperbanyak syura. Syura tidak boleh
dilakukan dalam hal hukum syara’. Suara mayoritas hanya mengikat dalam
masalah pelaksanaan aktivitas dan masalah praktis yang tidak perlu
pengkajian. Sementara dalam masalah hukum syara’ yang zhanniyah,
dan hukum masalah baru; masalah pemikiran dan definisi; dan masalah
yang berkaitan dengan keahlian dan keilmuan; maka keputusannya merujuk
kepada ra’yu shawab (pendapat yang benar) berdasarkan kekuatan dalil, dan pendapat yang paling kuat.
Dengan demikian tampak jelas bahwa syura dalam ajaran Islam sama
sekali berbeda dengan syura dalam sistem demokrasi, bahkan bertentangan
satu sama lain. Karena itu, tentu saja demokrasi tidak sejalan dengan
Islam. Lantas jika demikian, apakah pantas umat Islam lebih memilih
mengambil demokrasi, dan konsekuensinya tentu saja harus melanggar
Islam, mengebiri Islam dan bahkan mengambil sebagian hukum Islam dan
meninggalkan sebagian lainnya? Tentu saja tidak. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.[]
Komentar Al Islam:
Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia, Harkristuti Harkrisnowo, mengatakan, partai politik tidak
melulu memilih calon anggota legislatif, terutama caleg perempuan,
karena kualitas yang dimilikinya. Menurutnya, beberapa caleg perempuan
tersebut unggul karena popularitas yang dimilikinya. (kompas.com, 25/3).
- Dalam sistem pemilu demokrasi manapun, popularitas selalu menjadi faktor penentu. Masalah kualitas apalagi keberpihakan kepada kepentingan dan nasib rakyat, tidak penting.
- Bagaimana mungkin sistem yang tidak peduli kualitas seperti itu bisa melahirkan kebaikan dan perubahan ke arah yang baik? Memang pemilu bukan jalan perubahan ke arah kebaikan.
- Segera tinggalkan demokrasi dan ambil serta terapkan syariah Islam secara total dalam naungan Khilafah, niscaya para pengurus umat adalah dari mereka yang berkualitas dan yang pasti peduli kepada kepentingan dan nasib rakyat.
0 comments:
Post a Comment