Al-Islam edisi 687, 1 Rabiul Awwal 1435 H – 3 Januari 2014 M
Meski ada protes dan keraguan pemberi pelayanan kesehatan untuk
berpartisipasi pada Jaminan Kesehatan Nasional yang akan diterapkan 1
Januari 2014, cukup banyak klinik, puskesmas atau rumah sakit yang
bergabung.
Menurut Wamenkes, Ali Ghufron Mukti, sejauh ini ada sekitar 15.800
dokter praktek mandiri, klinik dan puskesmas yang akan memberi pelayanan
kesehatan dasar. Pelayanan tingkat lanjutan akan dilakukan sekitar
1.700 rumah sakit pemerintah dan swasta yang tersebar di Indonesia.
(Kompas, 30/12/2013).
Bukan Jaminan, Tapi Asuransi Kesehatan Nasional
Katanya jika program JKN sempurna, seluruh rakyat akan mendapat
jaminan kesehatan. Katanya, jika JKN sudah jalan, rakyat akan mendapat
pelayanan kesehatan gratis.
Itu hanya propaganda. Realitanya justru sebaliknya. Yang ada bukanlah
jaminan kesehatan nasional, akan tetapi asuransi kesehatan nasional.
Dua hal yang sangat berbeda bahkan berkebalikan.
Pelaksanaan JKN per 1 Januari 2014 ini adalah amanat dari UU No. 40
th. 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No. 24 th.
2011 tentang Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS).
UU SJSN Pasal 19 ayat 1 menegaskan: Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Prinsip asuransi sosial adalah
mekanisme pengumpulan dana bersifat wajib yang berasal dari iuran guna
memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta
dan/atau anggota keluarganya (Pasal 1 ayat 3). Prinsip ekuitas
artinya tiap peserta yang membayar iuran akan mendapat pelayanan
kesehatan sebanding dengan iuran yang dibayarkan.
UU ini secara fundamental telah mengubah kewajiban negara dalam
memberikan jaminan kesehatan menjadi kewajiban rakyat. Hak rakyat justru
diubah menjadi kewajiban rakyat. Konsekuensinya, rakyat kehilangan
haknya untuk mendapat jaminan kesehatan yang seharusnya wajib dipenuhi
oleh negara.
UU ini “menghilangkan” kewajiban dari negara dan memindahkannya ke
pundak rakyat. Rakyat wajib menanggung pelayanan kesehatannya sendiri
dan sesama rakyat. Itulah prinsip kegotong-royongan SJSN yaitu prinsip
kebersamaan antar peserta dalam menanggung beban biaya jaminan sosial,
yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai
dengan tingkat gaji, upah, atau penghasilannya (penjelasan pasal 4).
Bukan Gratis, Tapi Wajib Bayar
Dalam sistem JKN ini tidak ada yang gratis. Justru seluruh rakyat
wajib membayar dahulu, tiap bulan. JKN adalah asuransi sosial. Hanya
peserta yang membayar premi yang akan dapat layanan kesehatan JKN. Itu
wajib bagi seluruh rakyat sesuai prinsip kepesertaan wajib UU SJSN.
Yakni seluruh penduduk wajib jadi peserta asuransi sosial kesehatan
(JKN), dan tentu wajib membayar premi/iuran tiap bulan. Pasal 17: “(1)
Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan
berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu. (2)
Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan
iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada
BPJS secara berkala.”
Iuran untuk orang miskin dibayar oleh pemerintah (ayat 4) dan mereka
disebut Penerima Bantuan Iuran (PBI), atas nama hak sosial rakyat. Tapi
hak itu tidak langsung diberikan kepada rakyat, tetapi dibayarkan kepada
pihak ketiga (BPJS) dari uang rakyat yang dipungut melalui pajak. Jadi
realitanya, rakyat diwajibkan membiayai layanan kesehatan diri mereka
dan sesama rakyat lainnya.
Jadi tidak ada yang gratis untuk rakyat. Justru rakyat wajib bayar
iuran, baik layanan itu ia pakai atau tidak. JKN lebih tepat disebut
layanan kesehatan prabayar, persis seperti layanan telepon prabayar.
Sebab setiap rakyat wajib bayar premi (iuran) tiap bulan, baik layanan
itu dimanfaatkan bulan itu atau tidak. Jika tidak bayar maka tidak akan
mendapat manfaat layanan kesehatan JKN.
Besarnya iuran per bulan telah ditetapkan. Dalam Perpres ditetapkan
nominal iuran PBI per jiwa Rp. 19.225, akan mendapat layanan rawat inap
kelas 3. Iuran PNS/TNI/Polri/pensiunan sebesar 5% per keluarga (2% dari
pekerja dan 3% dari pemberi kerja) dan akan dapat layanan rawat inap
kelas 1 untuk golongan III ke atas atau yang setara, dan rawat inap
kelas 2 untuk di bawah golongan III.
Untuk pekerja penerima upah selain PNS dan lainnya, iuran ditetapkan
4,5% per keluarga (0,5% dari pekerja dan 4% dari pemberi kerja) hingga
30 Juni 2015, dan menjadi 5% per keluarga (1% dari pekerja dan 4% dari
pemberi kerja) mulai 1 Juli 2015. Mereka akan mendapat layanan rawat
inap kelas 1 jika bergaji lebih dari dua kali pendapatan tidak kena
pajak (sekitar Rp. 4 juta) dan rawat inap kelas 2 jika bergaji di
bawahnya. Jika pekerja bergaji Rp 2 juta, sampai 30 Juni 2015, ia harus
membayar Rp. 10 ribu per keluarga (untuk 5 anggota keluarga), dan
pemberi kerja harus membayar Rp. 80 ribu untuk tiap pekerjanya. Dan
mulai 1 Juli 2015, tiap pekerja harus membayar Rp. 20 ribu, dan pemberi
kerja harus membayar Rp. 80 ribu untuk tiap pekerjanya. Jadi pemberi
kerja tiap bulan harus membayar Rp. 80 ribu dikalikan jumlah pekerjanya.
Sementara untuk pekerja bukan penerima upah (bekerja sendiri) atau
bukan pekerja, iuran Rp. 25.500 per jiwa (layanan rawat inap kelas 3),
Rp. 42.500 per jiwa (rawat inap kelas 2), dan Rp. 59.500 per jiwa (rawat
inap kelas 1). Untuk satu keluarga tinggal dikalikan jumlah anggota
keluarga. Jumlah itulah yang wajib dibayarkan tiap bulan.
Jika ada biaya lebih dari yang dikover JKN, maka harus dibayar
sendiri. Masalahnya, tarif yang ditetapkan sangat kecil. Contohnya,
untuk RS Pratama, praktik dokter, dan fasilitas kesehatan yang setara
tarif yang dikover hanya Rp. 8.000-10.000 per peserta per bulan; praktek
dokter gigi malah hanya Rp 2.000.
Perpres tentang JKN, menetapkan prosedur layanan JKN, bahwa peserta
harus mendapat pelayanan kesehatan di Fasilitas Kesehatan tingkat
pertama tempat peserta terdaftar. Di fasilitas lain hanya boleh jika di
luar wilayah atau kegawatdaruratan medis. Itu artinya, meski masih di
kota yang sama, jika bukan di tempat peserta terdaftar, tidak akan
dikover oleh JKN, artinya harus bayar sendiri.
“Memalak” Rakyat, Himpun Dana
JKN (Jaminan Sosial Nasional) merupakan cara lain memungut dana
secara wajib – “memalak”- seluruh rakyat. Tiap orang akan terkena
pungutan. Pemberi kerja akan terkena pungutan sangat besar. Makin banyak
pekerjanya, makin besar pungutan yang harus dibayarnya. Biaya itu bisa
saja dimasukkan harga jual produk/jasa. Maka beban seluruhnya kembali
kepada rakyat pada umumnya.
Lebih menyesakkan lagi, jika telat bayar, tidak diberi layanan, bisa
didenda, bahkan tidak diberi pelayanan administratif publik seperti ngurus
KTP, akte, sertifikat, IMB, dsb. Pemberi kerja atau kepala keluarga
yang tidak mendaftarkan pekerja atau anggota keluarganya, bisa dikenai
sanksi bahkan sampai sanksi pidana. Inilah kezaliman luar biasa. Sudah
dipalak, jika telat dijatuhi sanksi, jika menghindar bisa dipidana.
Itulah “pemalakan” rakyat untuk menghimpun dana besar. Kompas
(26/12) menyebutkan, penyelenggara jaminan kesehatan diperkirakan akan
mengumpulkan dana iuran peserta sedikitnya Rp. 80 triliun per tahun.
Akumulasi dana ini akan bertambah besar saat BPJS ketenagakerjaan
beroperasi penuh pada 1 Juli 2015 dan menyelenggarakan jaminan
kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan kematian dan jaminan
pensiun.
Dana Jaminan Sosial itu wajib disimpan dan diadministrasikan di bank
kustodian yang merupakan BUMN (Pasl 40 UU BPJS). Artinya Bank BUMN bisa
mendapat sumber dana baru. Sesuai amanat Pasal 11 UU BPJS, dana itu
diinvestasikan. Tentu dalam bentuk surat berharga, termasuk Surat Utang
Negara dan surat berharga swasta. Dengan itu, negara dapat sumber dana
baru. Selain negara, swasta dan para kapitalis juga akan menikmati dana
itu yang diinvestasikan melalui instrumen investasi mereka. Mungkin
karena itulah Barat (khususnya melalui Bank Dunia, IMF, ADB, USAID)
sangat getol bahkan mendekte agar SJSN dalam bentuk asuransi sosial itu
segera eksis dan berjalan.
Islam: Pelayanan Kesehatan Kewajiban Negara
Dalam Islam, pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat
yang wajib disediakan oleh negara secara gratis. Fasilitas kesehatan
merupakan fasilitas publik yang diperlukan oleh rakyat. Semua itu
merupakan kemaslahatan dan fasilitas publik (al-mashâlih wa al-marâfiq), yang wajib dipenuhi negara, sebab termasuk apa yang diwajibkan oleh ri’ayah negara sesuai dengan sabda Rasul saw:
«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
Imam adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari dari Abdullah bin Umar)
Secara praktis, penyediaan layanan kesehatan gratis telah
dipraktekkan dan dicontohkan oleh Nabi saw sebagai kepala negara, dan
para Khulafa’ur Rasyidin. Hal itu menjadi sunnah Nabi saw dan ijmak
sahabat bahwa negara wajib menyediakan pelayanan kesehatan gratis untuk
seluruh rakyat. Itu menjadi hak setiap individu rakyat sesuai kebutuhan
layanan kesehatan yang diperlukan tanpa memandang tingkat ekonominya.
Dana untuk itu bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang
telah ditetapkan syariah. Bisa dari hasil pengelolaan harta kekayaan
umum, seperti hutan, bermacam tambang, migas, panas bumi, hasil laut dan
kekayaan alam lainnya. Juga dari kharaj, jizyah, ghanimah, fa’i, usyur,
pengelolaan harta milik negara dan sebagainya. Semua itu akan lebih
dari cukup untuk menyediakan pelayanan kesehatan berkualitas dan gratis
untuk seluruh rakyat.
Namun semua itu hanya bisa terwujud, jika Syariah Islam diterapkan
secara total dalam sistem Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah.
Untuk itu, kewajiban kita semua, umat Islam, untuk sesegera mungkin
mewujudkannya. Lebih dari itu, mewujudkannya adalah kewajiban syar’i dan
konsekuensi dari akidah Islam yang kita yakini. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar Al Islam:
Satu dasawarsa sejak KPK dibentuk pada 29 Desember 2003, ternyata
korupsi di Indonesia semakin canggih modusnya dan melibatkan banyak
pelaku, termasuk pihak asing. Korupsi pun makin menjadi ancaman bagi
keutuhan Indonesia sebagai negara kesatuan, karena sering masuk pada
lingkaran kekuasaan dan menjadikan rakyat sebagai korban pemiskinan
sistemik. (Kompas, 30/12/2013).
- Akibat penerapan sistem politik demokrasi, apalagi dengan biaya tinggi, semua itu wajar saja terjadi.
- Diperparah dengan penerapan sistem ekonomi kapitalisme, pemiskinan rakyat secara sistemik pun makin menjadi-jadi, dan sebaliknya memperkaya kapitalis khususnya asing.
- Terapkan sistem politik Islam, niscaya korupsi bisa diberantas. Dengan dibarengi penerapan sistem ekonomi Islam, niscaya rakyat seluruhnya akan sejahtera.
0 comments:
Post a Comment