[Al-Islam edisi 690, 22 Rabiul Awal 1435 H – 24 Januari 2014 M]
Rentetan musibah bencana alam melanda sejumlah wilayah di tanah air.
Di DKI Jakarta, 50 kelurahan terendam banjir. Di Subang ribuan rumah di
12 kecamatan dilanda banjir. Banjir juga melanda daerah-daerah lain
seperti di Bekasi, Indramayu, Pamanukan, Pekalongan, Pemalang, Batang,
Kendal, Semarang, Pati, Kudus, Jepara, dll. Akibat banjir-banjir,
puluhan ribu orang harus mengungsi dari tempat tinggal mereka.
Banjir juga melanda daerah di luar Pulau Jawa seperti di sejumlah
daerah di Sumatera Barat, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Utara. Manado,
Ibukota Provinsi Sulawesi Utara, porak poranda akibat banjir, 18
warganya meninggal. Sejumlah kendaraan bahkan rumah ikut hanyut tersapu
banjir.
Di samping itu, erupsi gunung Sinabung di Sumatera Utara menjadi
bencana bagi warga. Sekitar 28 ribu jiwa dari 34 desa harus mengungsi.
Kerugian yang ada mencapai ratusan miliar rupiah.
Qadha’ Allah
Musibah adalah bagian dari ketetapan (qadha’) Allah SWT., termasuk banjir dan erupsi gunung. Ini harus diimani.
قُل لَّن يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
“Katakanlah: ‘Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa
yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya
kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.’” (TQS. at-Tawbah [9]: 51).
Atas dorongan iman, musibah harus kita sikapi dengan lapang dada,
ridha, bersabar, bertawakal kepada-Nya dan mengembalikan semuanya kepada
Allah yang Mahakuasa (QS al-Baqarah: 155-157).
Dengan sikap itu, musibah yang datang akan menjadi kebaikan, diantaranya akan mendapat apa yang disabdakan oleh Rasul saw:
« مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ شَوْكَةٌ فَمَا فَوْقَهَا إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً أَوْ حَطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةً »
Tidaklah seorang mukmin tertimpa musibah tertusuk duri atau lebih
dari itu, kecuali dengannya Allah tinggikan dia satu derajat atau Allah
hapuskan darinya satu kesalahan. (HR Muslim, at-Tirmidzi, Ahmad)
Lebih dari itu, melalui bencana, Allah ingin menunjukkan
kekuasaan-Nya kepada manusia. Dengannya Allah juga mengingatkan bahwa
manusia itu lemah, akalnya terbatas dan membutuhkan bantuan Allah.
Sehingga tidak sepantasnya sombong di hadapan kekuasaan Allah, atau
menyangka telah sanggup menguasai dan mengatur dunia seraya meninggalkan
petunjuk dari Allah yang Maha Bijaksana.
Faktor Manusia
Meski musibah merupakan qadha’ Allah, namun proses
terjadinya bencana dan besarnya dampak bencana banyak dipengaruhi atau
akibat ulah manusia. Allah SWT berfirman:
]وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ[
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan
oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar
(dari kesalahan-kesalahanmu).” (TQS. asy-Syura [42]: 30).
Banjir terjadi ketika neraca air permukaan positif. Neraca air
ditentukan empat faktor: curah hujan; air limpahan dari wilayah sekitar;
air yang diserap tanah dan ditampung oleh penampung air; dan air yang
dapat dibuang atau dilimpahkan keluar. Dari semua itu, hanya curah hujan
yang tidak bisa kendalikan oleh manusia.
Jumlah air yang terserap tanah tergantung jenis tanah dan keberadaan
tumbuhan di atasnya. Limpahan air dari wilayah sekitar sangat
dipengaruhi oleh jumlah air yang terserap tanah wilayah sekitar itu.
Makin banyak vegetasi, makin tinggi daya serapnya. Makin luas wilayah
resapan dan terbuka hijau, dan makin banyak wilayah penampung air, akan
makin besar jumlah air yang tertampung dan terserap tanah. Penggundulan
hutan, pengeringan dan penimbunan rawa dan situ atau mengubah fungsinya
secara drastis, dan makin luasnya permukaan tanah yang tertutup bangunan
dan aspal, semua itu akan memicu bencana banjir. Itulah yang terjadi di
Jakarta dan sekitarnya.
Pembangunan selama ini dilakukan serampangan, mengabaikan kelestarian
lingkungan dan tidak harmonis dengan alam. Semakin banyaknya daerah
resapan air yang hilang. Berdasarkan hasil evaluasi terhadap Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2010, Jakarta kehilangan 476 hektare (ha)
ruang terbuka hijau dan 3.384 ha areal resapan air. Jika diakumulasikan,
luasnya mencapai angka 4 ribu ha (RMOL.com, 18/10/2010).
Pada tahun 2009, Walhi mencatat akibat pembangunan yang mengabaikan
kepentingan lingkungan ada sekitar 56 situ di kawasan Jakarta, Depok,
Tangerang, Bekasi dan Bogor hilang (tempo.co, 28/3/2009). Sementara itu
80 persen situ yang ada mengalami kerusakan. Hilangnya beberapa situ
akibat ditimbun dan di atasnya dibangun pemukiman dan kawasan bisnis.
Sementara daerah resapan, di Jakarta tak sampai 10% sangat jauh dari
angka minimal 30% yang disyaratkan, semuanya tergusur oleh pembangunan
menjadi tertutup beton dan aspal. Sedangkan di Puncak, kehilangan fungsi
resapan itu hingga 50 persen jika dibandingkan kondisi 15 tahun lalu.
(lihat, Tempo.co.id, 18/1/2013)
Buruknya Ri’ayah
Kerusakan ini menunjukkan buruknya ri’ayah atau pengelolaan
urusan masyarakat oleh negara. Negara lebih mengedepankan unsur bisnis
ketimbang melayani hajat rakyat. Sudah lazim diketahui bahwa pemerintah
daerah maupun pusat kerap tunduk pada kepentingan para pengusaha kuat.
Termasuk mengalihfungsikan lahan yang semestinya menjadi kawasan resapan
air dan pencegah longsor menjadi kawasan bisnis atau pertambangan.
Manajer Penanganan Bencana WALHI Nasional, Mukri Friatna, mengatakan
sejumlah perusahaan pertambangan seperti Sinar Mas, Newmont di Lombok
Barat, Exxon Mobil di Aceh, dan yang paling punya kontribusi (merusak)
adalah Freeport sebagai penyebab bencana (waspada.co.id, 19/1).
Di sisi lain tidak bisa dipungkiri, banyak warga berperilaku buruk,
seperti kebiasaan membuang sampah di sungai atau membangun pemukiman di
bantaran kali, yang kebanyakan dilakukan oleh rakyat kecil. Namun harus
diingat, itu hanya sebagian dari faktor penyebab banjir. Ada faktor
lain, yang mungkin lebih besar, yaitu faktor kerakusan pemilik modal dan
orang kaya serta pejabat. Penimbunan situ; hilangnya daerah resapan
oleh pembangunan mall, gedung, pemukiman; pembangunan vila sembarangan,
penambangan, dsb, hanyalah sebagian kecil dari wujud kerakusan itu.
Semua itu, bisa terjadi juga diakibatkan kelalaian penguasa dalam
menegakkan aturan dan melayani kepentingan masyarakat, dan buruknya
ri’ayah atau pengaturan masyarakat. Itu bisa jadi merupakan faktor
paling signifikan terjadinya bencana banjir, banjir bandang dan tanah
longsor, dan lainnya.
Semua itu masih diperparah dengan buruknya ri’ayah dalam menangani
dan mengatasi bencana. Kompas (21/1) menulis, “meski rutin menghadapi
banjir atau tanah longsor, penanganan bencana hidrometeorologis di
berbagai daerah tetap kedodoran. Keterlambatan evakuasi korban dan
kurang terurusnya pengungsi masih terjadi. Lemahnya koordinasi
antarlembaga dan rendahnya kesadaran masyarakat memperburuk keadaan.”
Banjir, banjir bandang dan tanah longsor sebenarnya bisa dicegah.
Potensi bencana yang mengancam bisa dikurangi. Namun data bencana yang
ada belum dimanfaatkan optimal. Peta kerawanan bencana, data curah
hujan, peringatan pergerakan tanah, peringatan cuaca ekstrem, dan
pengalaman bencana sebelumnya tidak dijadikan pembelajaran untuk
mengantisipasi bencana. Saat bencana melanda, politisi dan penguasa
mencari kambing hitam, menyalahkan penguasa sebelumnya, bahkan
menyalahkan hujan, lempar tanggung jawab dan manajemen penanganan
bencana tidak terpadu. Kepemimpinan pun tidak tampak dalam
mengantisipasi, menangani dan mengatasi bencana. Lemahnya koordinasi
antar lembaga dan antar daerah menjadi bukti. Pemerintahlah yang bisa
memobilisasi, mengkoordinasi dan memenej semua sumberdaya termasuk
swasta dan masyarakat untuk mencegah, mengantisipasi, menangani dan
mengatasi bencana, sayangnya hal itu belum terlihat. Masyarakat yang
jadi korban bencana harus menjadi korban lagi atas lemah dan tidak
efektifnya penanganan bencana.
Saat bencana usai, masyarakat dan pemerintah khususnya, mengalami
amnesia bencana; lupa melakukan perbaikan, tidak bertindak sigap dan
cepat meluruskan yang salah, gagap melakukan apa yang semestinya
dilakukan dan terus mengulangi kesalahan-kesalahan sebelumnya.
Menyempurnakan Perbaikan dan Taubat
Masalah terjadinya bencana alam, banjir, banjir bandang, tanah
longsor dan dampaknya bukan hanya masalah teknis tetapi juga merupakan
masalah sistemis ideologis. Sebab masalahnya juga menyangkut tata ruang
yang tidak dipatuhi, kemiskinan yang mendorong orang menempati bantaran
sungai, keserakahan yang membuat daerah hulu digunduli, daerah resapan
ditanami gedung dan mall demi pendapatan daerah dan memuaskan nafsu
kapitalis, sistem anggaran yang tidak adaptable untuk atasi
bencana, pejabat dan petugas yang tidak kompeten dan abai mengadakan dan
mengawasi infrastruktur, penguasa dan politisi yang lalai mengurusi dan
menjamin kemaslahatan rakyat, dsb. Semuanya itu saling terkait dan
berhulu pada paham politik kapitalisema, ide mendasar bahwa semua itu
diserahkan kepada mekanisme pasar dan proses demokratis, dan ideologi
sekuler kapitalisme.
Semua itu merupakan kerusakan (fasad) yang harus diperbaiki dan
kemaksiatan yang harus ditaubati. Perbaikan dan taubat yang harus
dilakukan tidak cukup pada tingkat individu dan kelompok, tetapi juga
pada tingkat masyarakat dan sistem ideologis. Perbaikan, ikhtiar dan
taubat harus disempurnakan dengan meninggalkan sistem ideologi
kapitalisme demokrasi dan menggantinya dengan sistem ideologi Islam. Dan
itu hanya bisa wujudkan melalui penerapan syariah secara menyeluruh di
bawah naungan Khilafah. Inilah perbaikan, ikhtiar dan taubatan nashuha
yang ahrus segera dilakukan dan diwujudkan. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar Al-Islam:
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan jajaran
pemerintahan untuk bergerak cepat membantu para korban bencana alam di
wilayahnya masing-masing. Presiden meminta mereka tidak perlu takut
mengucurkan anggaran untuk korban bencana. (Kompas.com, 21/1)
- Yang harus ditunjukkan adalah bukti nyata bukan hanya pernyataan. Penanganan bencana butuh kerja sama antarlembaga dan antardaerah, sayangnya saat ini hal itu kedodoran. Lalu kepemimpinan presiden di mana?
0 comments:
Post a Comment