Wawancara dengan : Rokhmat S. Labib
Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia
Pengantar
Pemilu Presiden (Pilpres) tinggal
menghitung hari. Koalisi antarparpol pun sudah terbentuk untuk
memenangkan pasangan capres-cawapres yang mereka usung.
Bagaimana sebetulnya realitas
koalisi antarparpol tersebut? Apakah memang demi kepentingan rakyat?
Ataukah demi kepentingkan para elit parpol dan para koleganya? Bagaimana
pula sebetulnya koalisi antarparpol dalam pandangan Islam?
Itulah beberapa pertanyaan Redaksi yang diajukan kepada Ketua DPP HTI, Ustadz Rokhmat S. Labib. Berikut jawaban beliau.
>> Jokowi tidak mau menggunakan sebutan koalisi, tetapi kerjasama. Menurut Ustadz, apa sebenarnya koalisi parpol itu?
Koalisi parpol adalah gabungan
antara dua atau beberapa parpol untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Dalam konteks Pilpres, koalisi itu bertujuan untuk mengajukan pasangan
calon presiden dan wakil presiden. Ketika menang, parpol peserta koalisi
itu akan melakukan sharing power, bagi-bagi kekuasaan sesuai dengan
kesepakatan.
Kalau Jokowi menggunakan istilah
kerjasama, sebenarnya dari segi faktanya tidak berbeda dengan koalisi.
Hanya eufemisme, penghalusan bahasa, namun hakikatnya sama saja.
>> Koalisi dalam sistem pemerintahan sekarang ini seolah menjadi keharusan. Mengapa begitu?
Setidaknya ada dua. Pertama: untuk
mendapatkan kekuasaan. Koalisi harus dilakukan ketika parpol tidak bisa
mengajukan pasangan calon karena tidak dapat memenuhi syarat ambang
batas minimal, yakni 20 persen kursi di DPR atau 25 persen dari suara
yang sah pada Pemilu Legislatif.
Kedua: untuk memuluskan jalannya
pemerintahan. Dengan koalisi, jumlah kursi di DPR menjadi lebih banyak
sehingga Pemerintah tidak takut direcoki oleh DPR. Jika ada penentangan
dari DPR, tinggal dilakukan voting.
>> Lalu apa yang dijadikan dasar pertimbangan bagi parpol-parpol itu untuk berkoalisi?
Banyak. Ada yang karena kesamaan
ideologi. Ada juga karena kedekatan platform. Namun, yang sekarang
terjadi, dasar utamanya adalah kepentingan. Mereka akan berkoalisi
dengan partai mana pun asalkan memudahkan jalan untuk mendapatkan dan
berbagi kekuasaan. Jadi, tak aneh jika banyak yang mengatakan koalisi
hanya untuk berbagai jatah menteri.
>> Jadi benar-benar pragmatis?
Ya. Jadi jangan heran, pasca Pileg
kemarin arah koalisi parpol itu terus berubah-ubah dengan cepat. Ketika
deal-deal yang ditawarkan tidak mendapat titik temu, segera mencari
mitra lain yang bisa diharapkan memenuhi deal-deal itu. Ideologi atau
platform parpol sama sekali tidak menjadi pertimbangan. Kalaupun mereka
menyebut ada kedekatan platform, itu hanya omong-kosong.
>> Bagaimana dengan parpol Islam atau yang berbasis massa Islam?
Tidak berbeda. Dalam memilih mitra
koalisi, kesamaan asas sama sekali tidak dijadikan sebagai pertimbangan.
Seandainya kesamaan asas dijadikan pertimbangan utama, semestinya
mereka akan memilih berkoalisi dengan sesama partai Islam. Setidaknya,
dengan yang berbasis massa Islam. Lhaini tidak terjadi. Mereka malah
lebih memilih berkoalisi dengan partai yang tidak berasas Islam atau
berbasis massa Islam. Meski usaha untuk itu sudah dilakukan sejumlah
tokoh ormas Islam, setelah beberapa kali bertemu, akhirnya mentok.
Bagaimana bisa berlanjut, lha Pemilu
belum berlangung saja Ketua Umum PPP secara terbuka menyatakan
dukungannya kepada Prabowo. Pasca Pemilu Anis Matta sempat
mengisyaratkan ingin berkoaisi dengan PDIP dengan mengingatkan indahnya
koalisi PKS dan PDIP di Babel, kemudian putar haluan ke Gerindra. PKB
sejak awal mengatakan sudah kapok berkoalisi dengan partai Islam. Amien
Rais, Ketua MPP PAN, juga menolak koalisi seperti Poros Tengah dulu.
Menurut dia, koalisi yang hanya melibatkan Partai Islam dan berbasis
massa Islam terlalu sempit. Sebagai gantinya, dia mewacanakan koalisi
Indonesia Raya melibatkan partai nasionalis.
Yang lebih menyedihkan, parpol-parpol Islam itu terkesan yang justru mematut-matut diri untuk dipinang partai sekular.
>> Mengapa begitu?
Karena orientasi utamanya adalah
kekuasaan. Dalam AD/ART-nya memang disebutkan Islam sebagai asasnya.
Akan tetapi, penyebutan itu tidak menjangkau pasal-pasal lainnya. Islam
juga tidak dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan. Kalaupun suatu
saat tampak terikat dengan Islam, ada motif di balik itu. Sebagai
contoh, ada parpol Islam yang tegas menolak presiden wanita. Alasan
mereka, karena tunduk pada fatwa ulama. Namun, ketika ada kesempatan
menjadi wakil presiden wanita itu, mereka berubah menjadi menerimanya.
Alasan mereka pun berubah. Bukan lagi fatwa ulama, namun konstitusi.
Menurut mereka, secara konstitusi tidak ada larangan bagi wanita menjadi
presiden.
Karena mendasarkan pada kepentingan,
sikap mereka mudah berubah-ubah, bergantung pada kepentingan. Akhirnya,
mereka nyaris sama dengan parpol sekular itu.
>> Berarti mengorbankan idealisme?
Ya, sudah pasti. Pada Pilpres tahun
2004, misalnya, ada dua partai Islam yang berkoalisi dengan Partai
Demokrat mengusung SBY-JK. Ini tentu aneh. Pasalnya, ketika kampanye
partai Islam yang satu getol mengkampanyekan syariah. Yang satunya lagi
sering mengadakan aksi mendukung Palestina dan mengecam Zionis Israel.
Padahal SBY secara terbuka menolak formalisasi syariah. SBY juga sangat
pro Amerika hingga pernah mengatakan Amerika sebagai my second country,
negeri kedua saya. Padahal siapa pun tahu, Amerika adalah negara yang
melindungi negara zionis Israel, menjajah negeri Islam, dan menumpahkan
darah umat Islam.
Coba perhatikan. Ketika kampanye
parpol Islam meminta agar umat Islam memilih mereka. Jika tidak, kursi
parlemen dan pemerintahan akan dikuasai partai sekular. Fatwa haram
golput juga digunakan untuk senjata. Karena itu sebagian umat Islam pun
memberikan suaranya kepada mereka. Namun, apa yang terjadi pasca Pemilu?
Parpol Islam itu pun berkoalisi dengan parpol sekular untuk mengegolkan
capres dari partai sekular!
>> Dalam koalisi model seperti itu, lalu di mana posisi suara dan kepentingan rakyat?
Ya tidak ada lagi. Kan rakyat hanya
dibutuhkan suaranya. Peran mereka telah selesai begitu Pemilu usai. Bagi
parpol, suara itu bisa digunakan sesukanya, sesuai dengan kepentingan
mereka.
>> Namun, mereka selalu
mengklaim koalisi yang mereka bentuk demi kepentingan rakyat, demi
kebaikan rakyat, demi perbaikan nasib rakyat?
Tentu mereka harus berkata begitu.
Namun, yang penting dilihat adalah sikap dan tindakan mereka. Bukan
hanya ucapan dan janji mereka. Ketika Pemerintah berencana menaikkan
harga BBM, parpol-parpol yang tergabung dalam koalisi pun mendukung.
Ketika bergulir hak angket untuk pengusutan kasus Mafia Pajak, hak
angket itu pun segera kandas. Bagaimana dikatakan pro rakyat jika
kebijakannya justru merugikan rakyat?
Demikian juga dengan undang-undang
yang dibuat, amat banyak yang merugikan rakyat dan malah menguntungkan
asing. Contoh: UU Sumber Daya Air yang menjadikan air sebagai barang
komersial; UU Migas yang membolehkan swasta, termasuk swasta asing,
mengelola usaha migas, mulai dari sektor hulu hingga sektor hilir.
Disebutkan juga bahwa harga BBM ditentukan oleh pasar. Ada juga UU
Penanaman Modal yang memperlakukan secara sama semua investor domestik
atau asing, tidak boleh melakukan nasionalisasi, dan kalau ada
persengketaan antara Pemerintah dengan swasta asing, dibawa ke arbitrase
internasional yang disepakati kedua belah pihak. Ada UU SJSN dan UU
BPJS yang memaksa rakyat ikut asuransi sehingga rakyat harus membayar
premi untuk mendapatkan layanan kesehatan. Menurut anggota DPR Eva
Sundari, ada 76 undang-undang yang diintervensi asing, bahkan sampai
pada pembuatan draft.
Jadi, pro rakyat hanya klaim. Tepatnya, klaim dusta yang bertentangan dengan faktanya.
>> Bagaimana pandangan Islam tentang berkoalisi dengan parpol sekular?
Haram. Sebab, koalisi itu dalam
rangka mencalonkan dan mengangkat kepala negara yang menerapkan hukum
kufur. Padahal menerapkan hukum kufur hukumnya haram. Karena itu
bekerjasama dalam perkara tersebut termasuk dalam al-ta’âwun bi al-itsm
wa al-‘udwân, tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran
syariah.
Koalisi juga mendudukkan kader
parpol dalam kabinet sistem kufur. Dalam Islam, kedudukan menteri
terkategori sebagai hâkim, penguasa. Menjadi hâkim dalam sistem sekular
yang kufur termasuk yang diharamkan.
Berkoalisi dengan parpol sekular
juga mengharuskan parpol Islam diam dan menyetujui ideologi dan sistem
sekular. Padahal tidak boleh mendiamkan kekufuran dan kemaksiatan.
>> Sebagian orang beralasan,
dengan berkoalisi maka politisi Islam menentukan kebijakan, terutama
terhadap Islam dan kaum Muslim. Bagaimana menurut Ustadz?
Pertama: hukum syariah haus
didasarkan pada dalil syariah, tidak boleh didasarkan pada pertimbangan
manfaat dan untung-rugi. Ketika ditetapkan keharamannya oleh syariah,
maka tidak boleh dipandang baik. Harus ditinggal-kan. Tidak boleh
dicari-cari segi manfaatnya menurut hawa nafsu.
Kedua: fakta yang mereka katakan itu
tidak terjadi. Karena posisi parpol Islam hanya pelengkap, maka mereka
bukan penentu. Mereka dipaksa untuk ikut menyetujui semua kebijakan
penguasa. Dengan demikian keberadaan mereka tak lebih sebagai stempel.
Lebih ironis lagi jika parpol Islam itu harus mencari dalil-dalil agama
untuk membenarkan kezaliman kebijakan penguasa yang menjadi mitra
koalisinya.
Keterlibatan parpol Islam juga hanya
akan memperpanjang usia sekularisme. Ketika ada yang mengkritik
sekularisme, dengan enteng penguasa sekular itu akan mengatakan,
“Bagaimana Anda katakan pemerintahan kami kufur dan tidak islami.
Bukankah pemerintahan kami juga didukung oleh parpol Islam?” Jadi
keberadaan parpol Islam dalam pemerintahan sekular hanya dijadikan
sebagai ornamen untuk memperindah sekularisme.
>> Kalau tidak koalisi, lantas bagaimana seharusnya parpol bersikap?
Partai Islam harus menjelmakan
jatidirinya sebagai parpol Islam. Pertama: wajib berpegang teguh pada
Islam secara kaffah. Konsekuensi-nya, Islam harus dijadikan sebagai
tolok ukur untuk menilai baik dan buruk, benar dan salah.
Kedua: menolak dengan tegas semua
ideologi dan sistem di luar Islam seperti kapitalisme, sekularisme,
komunisme, sosialis-me, dan lain-lain. Tidak mau berkompromi, apalagi
berkoalisi dengan kelompok yang berideologikan selain Islam.
Ketiga: menjalankan tugas sebagai
partai politik. Dalam QS Ali Imran [3] ayat 104 dijelaskan bahwa tugas
mereka adalah yad’ûna ilâ al-khayr, mengajak pada kebaikan. Dalam Tafsir
ath-Thabari, maknailâ al-khayr adalah ilâ al-Islam wa syarâi’ihi
al-latî syara’ahal-Lâh li ‘ibâdihi, yakni menyeru pada Islam dan seluruh
syariahnya yang disyariatkan Allah kepada hamba-Nya. Selain itu juga
ya’murûna bi al-ma’rûf wa yanhawna ‘an al-munkar, melakukan amar makruf
nahi mungkar. Tugas melakukan amar makruf nahi mungkar baru sempurna
jika parpol itu juga melakukannya terhadap penguasa. Tindakan ini
disebut Nabi saw. sebagai afdhal al-jihâd, jihad yang paling utama.
Pada saat penguasa menerapkan
sekularis-me, tugas parpol adalah berjuang keras menghentikan rezim
sekular dan mengganti-kannya dengan syariah dan Khilafah. Ini tugas
berat yang wajub diemban parpol saat ini.
>> Apa yang harus kita lakukan untuk memperbaiki kondisi sekarang ini?
Menghimpun kekuatan umat untuk
menegakkan Khilafah. Sebab, hanya dengan Khilafah seluruh syariah bisa
diterapkan. Dakwah ke seluruh penjuru dunia juga bisa diemban. Untuk
itu, parpol Islam wajib meneladani Rasulullah saw. dalam menegakkan
dawlah. Mereka harus melakukan tatsqîf(pembinaan untuk kader dakwah),
melakukan al-tafâ’ul ma’a al-ummah (interaksi dengan umum) agar tercipta
opini umum yang mendukungan perjuangan menegakkan Khilafah, juga
melakukan kontak dengan para pemegang kekuasaan yang riil. Tujuannya
agar mereka memberikan kekuasaanya demi menegakkan Khilafah Aktivitas
itu terus-menerus dilakukan dengan istiqamah hingga Allah SWT menurunkan
pertolongan-Nya berupa tegaknya Khilafah. Inilah fase ketiga dalam
dakwah. Semoga kita dapat menyaksikan tibanya fase ini. [www.visimuslim.com]
0 comments:
Post a Comment