
Secara konteks, kedua capres-cawapres itu merupakan produk dari pileg
9 April lalu. “Semua orang mengakui pileg 2014 menjadi pileg yang
terburuk sepanjang sejarah Indonesia. Kalau titik tolaknya sudah seperti
itu, bagaimana mungkin kita berharap akan tersaring capres-cawapres
yang bertolak belakang dengan parpol pengusungnya? Artinya, pileg yang
buruk itu akan menjadi beban capres-cawapres terpilih,” ujarnya.
Karena Pileg yang buruk itu kan persoalannya panjang, bukan hanya money politic, tetapi di balik money politic
itu ada kekuatan kapital yang bekerja. Kan sudah sangat tidak rasional
seorang caleg bisa sampai habiskan puluhan milyar, tapi kenyataannya
ada. Kalau dilihat dari penghasilan legalnya selama lima tahun menjabat
nanti kan tidak akan balik lagi itu uang yang sudah dikeluarkan.
Menurut Revrisond, dengan besarnya proses peranan duit dalam pileg,
bisa dibayangkan, apa kualitas mereka. Kualitas buruk tapi terpilih
karena dalam kampanye menghamburkan banyak duit. “Jadi ketika menjabat,
apa yang ada dalam fikirannya? Ya mengembalikan modalnya dulu kan. Maka
dalam proses legislasi, ini akan menjadi ajang korupsi yang luar biasa.
Sementara presiden kalau mau menyusun legislasi mau tidak mau harus
bekerja sama dengan DPR,” tegasnya.
Nah, kekuatan kapital ini akan bekerja terus, lebih keras lagi, untuk
pilpres 9 Juli mendatang. Jadi siapa pun yang terpilih, satu, akan
bekerja sama dengan parlemen dari pileg terburuk ini. Dan kekuatan
kapital ini akan terus mengawal agar capres-cawapres, para kekuatan
kapital inilah yang menjadi sponsor. Dan hubungan itu akan terus dijaga
sampai pembuatan legislasi dsb.
Menurut Revrisond, bila variabel internasional dimasukkan presiden
terpilih tambah terkungkung. “Belum lagi, dimasukan variabel
internasional. Karena, sudah lama sekali, dalam bahasa saya itu, kita
berada di dalam kungkungan neokolonialisme,” pungkasnya.[] Joko Prasetyo
0 comments:
Post a Comment