
Kini masyarakat giliran menyaksikan bagaimana parpol-parpol
menunjukkan sikap pragmatisnya dalam menjalin koalisi antar parpol.
Perbedaan ideologi, visi-misi, konsep dan gagasan tidak lagi nampak
dalam prilaku politisi dan pejabat parpol tersebut. Parpol A akan
bergandengan mesra dengan parpol X, meski sebelumnya ia caci. Parpol B
akan berkoalisi dengan parpol Y untuk mendukung salah satu capres yang
sebelumnya dikatakan pengkhianat dan inkar janji. Parpol C akan
berkoalisi dengan parpol Z yang katanya seteru Ideologi. Fakta ini tak
terkecuali juga terjadi pada ”parpol-parpol Islam” atau parpol berbasis
masa Islam. Yang satu lari ke Jokowi. Satu lagi datang ke Gerindra.
Sementara yang lain mengintip sikap Golkar. Sangat tepat kiranya, bila
koalisi macam ini disebut ”koalisi pelangi”, berwana-warni, baik
ideologi dan maupun kepentingannya. Wacana poros tengah, sayup sayup
terdengar kalah oleh ego masing-masing parpol. Ada yang bilang sudah
”out of contex”. Ada juga yang malah terus mengungkit pengalaman pahit.
Begitulah kenyataannya, jangankan berdiri sendiri, dengan visi-misi
sendiri, bersama pun mereka tidak percaya diri. padahal jumlah suara
mereka terbilang cukup besar. Alih-alih munculkan figur, malah suhu
internal parpol makin memanas karena terlalu banyak yang bernafsu
menjadi penguasa.
Oleh karena itu, yang diperlukan saat ini bagaimana ”parpol-parpol
Islam” atau parpol berbasis masa Islam itu memahami kembali jati
dirinya, memahami kembali norma-norma ajaran Islam terkait dengan
koalisi parpol, serta mengoreksi kembali paradigma manfaat yang
senantiasa mereka pakai, yakni dengan memilih menjadi parpol terbuka dan
berkoalisi dengan parpol sekuler sungguh, yang nyatanya tidak
menghasilkan apa-apa kecuali cacian akan kemunafikan dari rakyat dan
rekan koalisi sendiri. Dan yang terpenting, merenungkan kembali besarnya
azab Allah Swt bagi orang yang menyia-nyiakan amanah terlebih bila
mereka adalah orang-orang yang mengerti hukum. Semoga tulisan ini bisa
jadi renungan dan sedikit peringatan. Sesungguhnya peringatan itu
bermanfaat bagi orang-orang beriman.
Realitas Koalisi Parpol Islan dan Parpol Sekuler
Dalam bahasa Arab, koalisi politik disebut dengan istilah at-tahaaluf as-siyasi. At-tahaluf, berasal dari kata hilfun yang berarti perjanjian (mu’ahadah) atau kesepakatan (mu’aqadah). Literatur yang sering ditunjuk untuk membahas tema koalisi politik dalam Islam antara lain kitab berjudul At-Tahaaluf As-Siyasi fi Al-Islam, karya Syaikh Muhammad Munir Al-Ghadban (ulama Ikhwanul Muslimin).
Tulisan singkat ini mencoba mengkaji hukum koalisi parpol Islam dan
parpol sekuler. Dengan mengamati realitas politik praktis, koalisi
parpol Islam dan parpol sekuler dapat didefinisikan secara umum sebagai penggabungan atau kerja sama parpol Islam dan parpol sekuler untuk mempengaruhi proses-proses politik,
seperti misalnya : (1) menentukan calon presiden dan calon wakil
presiden, (2) menentukan menteri-menteri di kabinet, (3) menentukan
strategi untuk menyusun parlemen yang mendukung pemerintah, (4)
menentukan platform dan arah kebijakan, dan lain-lain.
Koalisi parpol Islam dan parpol sekuler di Indonesia bukan barang
baru. Fakta ini tidak terjadi belakangan ini saja, katakanlah tahun 1999
ketika ada koalisi yang disebut Poros Tengah, yang dimotori PAN (parpol
sekuler) dan PPP (parpol Islam) guna menggolkan Gus Dur sebagai
Presiden RI ke-4. Bahkan sejak tahun 1945, koalisi seperti ini sudah
pernah terjadi. Masyumi sebagai parpol Islam telah menjalin koalisi
dengan berbagai parpol sekuler. Pada tahun 1945-1946 (Kabinet Syahrir
I), terjadi koalisi Masyumi – Parkindo (Parpol Kristen Indonesia). Lalu,
pada tahun 1950-1951 (Kabinet Natsir) terjadi koalisi Masyumi – PSI,
tahun 1951-1952 (Kabinet Sukiman) dan dan tahun 1952-1953 (Kabinet
Wilopo) terjadi koalisi Masyumi – PNI. (Alfian, 1981; Ricklefs, 2005;
Mashad, 2008; Kiswanto, 2008).
Tak hanya di parlemen koalisi parpol Islam dan parpol sekuler juga
terjadi di pilkada-pilkada di berbagai daerah. Bahkan bukan hanya
koalisi dengan parpol sekuler melainkan juga dengan parpol kristen
sekalipun seperti yang terjadi pada koalisi antara PKS dan PDS (partai
Kristen di Papua)
Koalisi pragmatis model ini mengingatkan orang pada koalisi Ikhwanul
Muslimin dengan beberapa parpol sekuler di Mesir. Ikhwanul Muslimin di
Mesir pernah berkoalisi dengan Parpol Wafd, yang merupakan gabungan
parpol komunis dan parpol sekuler di Mesir. Ikhwan juga pernah
berkoalisi dengan Parpol Asy-Sya’ab, yaitu parpol buruh dalam pemilu
anggota legislatif. Gerakan Islam Syiria juga pernah berkoalisi dengan
unsur kekuatan nasionalis Syiria untuk beroposisi dengan penguasa dan
dalam rangka berupaya menggantikannya. Gerakan dakwah Yaman juga pernah
berkoalisi dengan parpol berkuasa dan kemudian membentuk lembaga
kepresidenan untuk menjalankan pemerintahan. Gerakan dakwah Islam di
Sudan juga pernah berkoalisi dengan tentara untuk menjalankan urusan
kenegaraan. (Anonim, 2004).
Sebenarnya hasilnya cukup jelas, dengan logika pragmatis saja,
koalisi parpol Islam dan parpol sekuler tak membawa manfaat apa-apa.
Alih-alih membesarkan kekuatan parpol Islam, malah mereka tergerus dan
akhirnya ditinggalkan oleh konstituen mereka sendiri. Espektasi umat
Islam yang begitu tinggi terhadap kiprah parpol Islam membuat suara
mereka besar di awal-awal pendiriannya, setelah itu cenderung menurun
seiring dengan kepercayaan publik yang mayoritas mereka adalah umat
Islam. Hal ini terjadi karena mereka tidak melakukan pembinaan yang
benar terhadap umat dan di saat yang sama mereka juga kehilangan
pendukung fanatik yang awalnya disatukan oleh ideologi. Pada gilirannya
hal ini hanya akan mengokohkan rasa tidak percaya diri parpol-parpol
Islam di hadapan parpol sekuler. Al-hasil, pragamatisme hanya akan
menciptakan pragmatisme yang lebih hina. Oleh karena itu, sikap itu
harus segera dibuang lalu kembali ditanamkan optimisme dan keyakinan,
sembari menjauhkan diri dari kepentingan-kepentingan duniawi dalam
perjuangan. Keyakinan itu sangat penting, karena ia merupakan kunci
keberhasilan. Rasulullah Saw bersabda:
نَجَا أَوَّلُ هَذِهِ الْأُمَّةِ بِالْيَقِينِ وَالزُّهْدِ
“Generasi pertama umat ini selamat (meraih sukses) dengan keyakinan
dan sifat zuhudnya” (HR. at-Tabraniy, hadis ini juga dinukil dalam,
al-Yakin Libni Abi Dunya).
Hukum Koalisi Parpol Islam dan Parpol Sekuler
Dengan meneliti fakta (manath) koalisi parpol Islam dan
parpol sekuler yang ada, dapat diketahui bahwa tujuan utama koalisi
tersebut secara garis besar ada 3 (tiga); Pertama, untuk menentukan presiden dan wakil presiden. Kedua, untuk menentukan menteri-menteri dalam kabinet. Ketiga, untuk menciptakan stabilitas politik dalam parlemen.
Faktanya, dalam menjalankan sistem pemerintahan sekuler sekarang
(republik), semua lembaga politik seperti presiden, menteri, dan
parlemen, tidak menggunakan Syariah Islam sebagai hukum positif (yang
berlaku), melainkan menggunakan hukum-hukum buatan manusia (hukum kufur/thaghut/jahiliyah).
Presiden dan para menteri, misalnya, tugas utamanya sebagai pemegang
kekuasaan eksekutif bukanlah menjalankan Syariah Islam, melainkan
menjalankan UU buatan manusia (produk lembaga legislatif). Parlemen,
tugas utamanya sebagai pemegang kekuasaan legislatif adalah melakukan
legislasi UU yang tidak merujuk kepada wahyu sebagai sumber hukumnya,
melainkan menjadikan manusia sebagai sumber hukumnya. Kalau ada
legislasi atau penerapan Syariah, hanyalah sedikit atau parsial saja,
dan merupakan perkecualian.
Padahal, Islam di satu sisi telah mewajibkan umatnya untuk menerapkan
Syariah Islam, secara menyeluruh/kaffah dan bukan secara parsial.
(Lihat QS An-Nisaa : 58; QS Al-Maaidah : 48-49; QS Al-Baqarah : 208; QS
Al-Baqarah : 85).
Di sisi lain Islam telah mengharamkan umatnya untuk menerapkan hukum
kufur, yaitu hukum selain Syariah Islam. (Lihat QS Al-Maaidah : 44, 45,
47; QS Al-Maaidah : 50; QS An-Nisaa` : 60; QS An-Nisaa` : 65). Firman
Allah SWT :
Maka dari itu, mempertimbangkan tujuan-tujuan koalisi yang telah
disebutkan di atas, dan pertentangannya yang nyata dengan syara’, maka
koalisi parpol Islam dan parpol sekuler hukumnya haram secara syar’i.
Dalil-dalil keharamannya adalah Al-Qur`an, As-Sunnah, dan qaidah syar’iyah. Rinciannya sebagai berikut :
Pertama, koalisi parpol Islam dan parpol sekuler merupakan tolong menolong dalam perkara yang haram,
yaitu tolong menolong yang mengarah kepada penerapan hukum-hukum kufur
(bukan Syariah Islam), baik dalam kekuasaan eksekutif (presiden dan
menteri) maupun legislatif (parlemen). Tolong menolong semacam ini telah
dilarang oleh Allah SWT dengan firman-Nya :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS Al-Maaidah [5] : 2)
Imam Ibnu Katsir menjelaskan ayat di atas :
يأمر تعالى عباده المؤمنين بالمعاونة على فعل
الخيرات، وهو البر، وترك المنكرات وهو التقوى، وينهاهم عن التناصر على
الباطل. والتعاون على المآثم والمحارم…
“Allah SWT telah memerintahkan para hamba-Nya yang beriman untuk
tolong menolong dalam mengerjakan perbuatan baik, yaitu kebajikan (al-birr), dan meninggalkan kemungkaran-kemungkaran, yaitu ketakwaan (al-taqwa). Allah SWT juga melarang mereka untuk tolong menolong dalam kebatilan (al-bathil), dalam dosa (al-ma-atsim), dan dalam hal-hal yang diharamkan (al-maharim).” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/12-13).
Berdasarkan keumuman ayat di atas, yaitu adanya larangan untuk tolong menolong dalam segala kebatilan (al-bathil), dosa (al-ma-atsim), dan hal-hal yang diharamkan (al-maharim),
maka koalisi parpol Islam dan parpol sekuler adalah haram, karena
koalisi ini mengarah pada penerapan hukum kufur yang jelas-jelas haram.
Kedua, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler akan
menimbulkan kecenderungan (sikap rela/setuju) dari aktivis parpol Islam
kepada aktivis parpol sekuler yang zalim. Padahal sikap cenderung ini dilarang oleh Allah SWT :
وَلا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا
فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ
ثُمَّ لا تُنْصَرُونَ
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang
menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada
mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak
akan diberi pertolongan.” (QS Huud [11] : 113)
Kalimat “janganlah kamu cenderung” (wa laa tarkanuu), ada beberapa penafsiran. Kata Qatadah, bahwa maksudnya adalah janganlah kamu mencintai (laa tawadduuhum) dan janganlah kamu menaati mereka (laa tuthii’uuhum). Kata Ibnu Juraij, maksudnya janganlah kamu condong kepada mereka (laa tumiilu ilaihim). Kata Abul ‘Aliyah, maksudnya janganlah kamu rela dengan perbuatan mereka (laa tardhou a’maalahum). Mengomentari beberapa penafsiran ini, Imam Qurthubi menyimpulkan,”Semua penafsiran ini hampir sama maknanya.” (Kulluha mutaqaaribah). (Tafsir Al-Qurthubi, 9/108).
Imam Al-Qurthubi selanjutnya menerangkan :
وأنها دالة على هجران أهل الكفر والمعاصي من أهل البدع وغيرهم، فإن صحبتهم كفر أو معصية، إذ الصحبة لا تكون إلا عن مودة…
“Ayat ini menunjukkan [keharusan] menjauhi orang kafir atau para
pelaku maksiat dari kalangan ahlul bid’ah dan yang lainnya, karena
bersahabat dengan mereka adalah suatu kekufuran atau kemaksiatan,
mengingat persahabatan tak mungkin ada kecuali karena kecintaan…” (Tafsir Al-Qurthubi, 9/108).
Berdasarkan penafsiran ini, koalisi parpol Islam dengan parpol
sekuler haram hukumnya. Sebab para aktivis parpol sekuler hakikatnya
adalah orang-orang zalim atau para pelaku maksiat (ahlul ma’ashi),
karena tidak menjadikan ajaran Islam sebagai asas dan pedoman dalam
berparpol. Orang-orang sekuler ini mestinya dijauhi, bukan didekati atau
malah diajak koalisi. Karena itu, berkoalisi dengan mereka, berarti
melanggar perintah Allah dalam ayat di atas, yaitu perintah untuk
menjauhi para pelaku maksiat dengan cara tidak berkawan atau bersahabat
dengan mereka.
Ketiga, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler akan memperlama umur kebatilan, yaitu sistem demokrasi-sekuler sekarang.
Padahal Allah SWT telah memerintahkan agar bersegera –bukan
berlambat-lambat– dalam meninggalkan kebatilan dan melaksanakan
ketaatan. Allah SWT berfirman :
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالاَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada
surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk
orang-orang yang bertakwa.” (QS Ali ‘Imraan [3] : 133).
Kata saari’uu (bersegaralah) artinya baadiruu (bercepat-cepatlah) atau saabiquu (berlomba-lombalah). (Tafsir Al-Baghawi,
2/103). Maka koalisi antar parpol Islam dengan parpol sekuler haram
karena bertentangan dengan perintah Allah ini, sebab koalisi seperti itu
justru akan memperlama eksistensi sistem sekuler dan menunda semakin
lama penerapan Syariah Islam yang menyeluruh.
Keempat, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler akan
mengantarkan orang-orang mereka dalam jabatan-jabatan pemerintahan
dalam sistem sekuler. Padahal telah ada hadis sahih yang melarang
menduduki jabatan-jabatan pemerintahan (penguasa) dalam sebuah
pemerintahan yang menyalahi Syariah, seperti sistem demokrasi-sekuler
sekarang. Sabda Nabi SAW :
ليأتين على الناس زمان يكون عليكم أمراء سفهاء
يقدمون شرار الناس ، ويظهرون بخيارهم ، ويؤخرون الصلاة عن مواقيتها ، فمن
أدرك ذلك منكم ، فلا يكونن عريفا ولا شرطيا ولا جابيا ولا خازنا
“Sungguh akan datang pada manusia suatu zaman, dimana yang ada
atas kalian adalah pemimpin-pemimpin yang bodoh (umara sufaha) yang
mengutamakan manusia-manusia yang jahat dan mengalahkan orang-orang yang
baik di antara mereka, dan mereka suka menunda-nunda sholat keluar dari
waktu-waktunya. Maka barangsiapa di antara kamu yang mendapati
pemimpin-pemimpin seperti itu, janganlah sekali-kali dia menjadi pejabat
(‘ariif), atau menjadi polisi, atau menjadi pemungut [harta], atau
menjadi penyimpan [harta].” (Musnad Abu Ya’la, 3/121; Ibnu Hibban no 4669; Kata Nashiruddin Al-Albani dalam As-Silsilah As-Shahihah hadis no 360,”Hadis ini isnadnya sahih dan para perawinya tsiqat.”).
Terdapat hadis lain yang semakna dengan hadis di atas, misalnya sabda Nabi SAW :
يَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ أُمَرَاءُ
ظَلَمَةٌ، وَوُزَرَاءُ فَسَقَةٌ، وَقُضَاةٌ خَوَنَةٌ، وَفُقَهَاءُ
كَذَبَةٌ، فَمَنْ أَدْرَكَ مِنْكُمْ ذَلِكَ الزَّمَنَ فَلا يَكُونَنَّ
لَهُمْ جَابِيًا وَلا عَرِيفًا وَلا شُرْطِيًّا
“Akan ada pada akhir zaman para pemimpin yang zalim, para menteri
yang fasik, para hakim yang khianat, dan para fuqaha yang pendusta.
Maka barang siapa di antara kamu yang mendapati zaman itu, janganlah
sekali-kali dia menjadi pemungut harta mereka, atau menjadi pejabat
mereka, atau menjadi polisi mereka.” (HR Thabrani, dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, hadis no 156, 19/67).
Muhammad Syakir Al-Syarif menjelaskan pengertian kata “ariif” dan “jaabi” dalam hadis di atas sebagai berikut :
العريف : القيم الذي يتولى مسئولية جماعة من الناس…والجابي : الذي يتولى جباية الإموال من الناس كالمكوس ونحوها
“Yang dimaksud “ariif” adalah orang yang memegang tanggung jawab
masyarakat umum [pejabat pemerintahan], sedang “jaabi” adalah orang yang
bertugas memungut harta masyarakat seperti bea cukai dan yang
semisalnya [petugas pajak].” (Muhammad Syakir Al-Syarif, Al-Musyarakah fi Al-Barlaman wa Al-Wizarah, hlm. 181).
Berdasarkan hadis di atas, jelas koalisi parpol Islam dan parpol
sekuler haram hukumnya. Karena koalisi ini di antaranya tujuannya adalah
menempatkan kader-kader mereka untuk menjadi para pejabat publik,
seperti presiden dan menteri, dalam sistem sekarang yang tidak
menjalankan Syariah Islam. Posisi jabatan publik dalam sistem kufur
seperti ini dilarang berdasarkan hadis di atas.
Kelima, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler
merupakan suatu perjanjian atau kesepakatan yang terlarang dalam Islam,
karena tujuannya bertentangan dengan ajaran Islam. Perjanjian atau kesepakatan semacam ini haram hukumnya, sesuai sabda Nabi SAW :
لا حِلْفَ فِي الإِسْلام
“Tidak boleh ada perjanjian [yang batil] dalam Islam.” (HR Bukhari no 2130; Muslim no 4593; Abu Dawud no 2536; Ahmad no 13475).
Kata “hilfun” dalam bahasa Arab arti asalnya adalah perjanjian (mu’ahadah) atau kesepakatan (mu’aaqadah; ittifaaq) untuk saling memperkuat (at-ta’adhud) atau menolong (at-tasaa’ud). (Catatan kaki dalam Al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, Al-Hakim, 6/497).
Imam Nawawi memberi syarah (penjelasan) hadis di atas dengan berkata :
فَالْمُرَاد بِهِ حِلْف التَّوَارُث وَالْحِلْف عَلَى مَا مَنَعَ الشَّرْع مِنْهُ
“Yang dimaksud dengan “hilfun” yang dilarang dalam hadis di atas
adalah perjanjian untuk saling mewarisi [yang ada pada masa awal hijrah
bagi orang-orang yang saling dipersaudarakan oleh Rasulullah SAW] dan
perjanjian pada segala sesuatu yang dilarang oleh syara’.” (Imam Nawawi,
Syarah Muslim, 3/302).
Maka dari itu, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler adalah
haram, karena koalisi ini hakikatnya merupakan perjanjian yang dilarang
oleh syara’, karena bertujuan untuk menempatkan para kader mereka
sebagai presiden dan/atau menteri (yang akan menjalankan hukum-hukum
kufur).
Keenam, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler merupakan
suatu perjanjian batil karena mengandung syarat-syarat yang bertentangan
dengan syara’. Nabi SAW telah bersabda :
كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
“Setiap syarat yang tidak sesuai dengan Kitabullah, maka ia adalah batil, meskipun ada seratus syarat.” (HR Bukhari no 2375; Muslim no 2762; Ibnu Majah no 2512; Ahmad 24603; Ibnu Hibban no 4347).
Ibnu Hajar Al-’Asqalani dalam Fathul Bari berkata :
أَنَّ الشُّرُوط الْغَيْر الْمَشْرُوعَة بَاطِلَة وَلَوْ كَثُرَتْ
“Sesungguhnya syarat-syarat yang tidak sesuai syara’ adalah batil, meski banyak jumlahnya.” (Ibnu Hajar Al-’Asqalani, Fathul Bari, 8/34).
Jadi, hadis di atas melarang setiap syarat yang bertentangan dengan
syara’. Padahal suatu perjanjian termasuk koalisi antar parpol tidak
akan terlepas dari syarat-syarat yang diajukan kedua belah pihak.
Misalnya siapa yang akan menjadi calon presiden, siapa yang akan
menduduki kementerian tertentu, dan sebagainya. Padahal syarat-syarat
koalisi ini terkait dengan kekuasaan dalam sistem sekuler yang tidak
menjalankan hukum Syariah Islam.
Maka dari itu, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler hukumnya
haram, karena koalisi ini merupakan suatu perjanjian dengan
syarat-syarat yang bertentangan dengan syara’, yaitu memperoleh
kedudukan dalam kekuasaan yang tidak menjalankan Syariah Islam.
Ketujuh, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler
merupakan perantaraan (wasilah) kepada sesuatu yang haram, yaitu
duduknya para kader mereka sebagai pejabat publik (seperti presiden dan
menteri) dalam sistem demokrasi-sekuler, yang akan menjalankan
hukum-hukum kufur. Kaidah syara’ dalam masalah ini menetapkan :
الْوَسِيلَةُ إلى الْمُحَرَّمِ مُحَرَّمَةٌ
“Segala perantaraan yang akan membawa kepada yang haram, hukumnya haram.” (Anwar Al-Buruq fi Anwa’ Al-Furuq, 3/46)
Berdasarkan ketujuh dalil yang telah diuraikan di atas, maka hukum
koalisi parpol Islam dan parpol sekuler hukumnya adalah haram secara
syar’i.
Apa Yang Harus Dilakukan.?
Dengan memperhatikan uraian di atas, jelaslah bahwa pilahan parpol
Islam untuk berkoalisi dengan parpol sekuler merupakan pilihan yang
salah dan haram. Oleh karena itu seharusnya parpol Islam bersatu
memperjuangkan aspirasi dan visi misi umat Islam. Bila ada beberapa
parpol Islam yang tidak mau bersatu, maka seharusnya parpol Islam yang
masih memiliki kesadaran politik Islam dia tetap berdiri kokoh dan
berjuang -meski sendirian- demi Ideologi, visi-misi, dan gagasan Islam
yang diperjuangkannya, bukan malah ikutan bersikap pragmatis. Bila
dirinya, tidak mampu melakukan itu, karena betapa besarnya tantangan
dakwah di dalam sistem sekuler ini, maka seharusnya dia melepaskan
amanah kekuasaan itu. Setiap orang seharusnya dia berani berkuasa bila
dia mampu memikul amanahnya. Sebab kekuasaan adalah amanah dan setiap
amanah akan berbuah penderitaan dan penyesalan di akhirat bagi
orang-orang yang tak mampu memikulnya. Inilah pesan Rasulullah Saw
kepada umatnya yang beliau sampaikan kepada abu Dzar al-Ghifari, ketika
ia datang kepada beliau meminta kekuasaan. Ia berkata kepada:
: قلت يا رسول الله ألا تستعملني ؟ قال فضرب بيده على منكبي ثم قال ( يا أبا ذر إنك ضعيف وإنها أمانة وإنها يوم القيامة خزي وندامة إلا من أخذها بحقها وأدى الذي عليه فيها )
Aku berkata: “Ya Rasulullah, tidakkah engkau jadikan aku sebagai
pegawaimu..?” Rasulullah kemudian menepuk bahu Abu Dzar dengan dengan
tangga nya seraya berkata: “Wahai Abu Dzar, engkau ini lemah,
sesungguhnya (kekuasaan ini) adalah amanah dan pada hari kiamat ia (akan
berbuah) nista dan penyesalan, kecuali orang yang yang mengambilnya
dengan hak dan menunaikan apa yang menjadi kewajibannya” (HR. Muslim)
Imam an-Nawawiy, dalam Syarahnya menyatakan, hadis ini adalah dasar
yang agung dalam hal menjauhi kekuasaan, terlebih bagi orang yang
dipastikan tidak akan mampu memikulnya (Syarhun Nawawiy ‘Ala Muslim,
Imam an-Nawawiy, 6/6)
Contoh terbaik dalam hal kehati-hatian dalam mengambil amanah
kekuasaan bisa kita lihat pada sikap para sahabat. Dari Abi Mas’ud ra
ia berkata:
بعثني رسول الله صلى الله عليه وسلم ساعيًّا على الصدقة ثم قال: “انطلق أبا مسعود، لا ألفينك يوم القيامة تجيء على ظهرك بعير من إبل الصدقة له رُغاء قد غللته” قال: إذًا لا أنطلق، قال: “إذًا لا أُكرهك“ (رواه أبو داود
Rasulullah Saw pernah mengutusku untuk memungut zakat. Beliau
berkata: “Pergilah wahai Aba Mas’ud”. Beliau kemudian melanjutkan
perkataannya: “Sungguh aku akan menemuimu di hari kiamat, sementara
engkau datang memikul unta-unta shadaqah (zakat) yang teriak meronta di
atas punggungmu, dialah (harta ghulul) yang engkau ambil darinya”.
Kemudian Abu Mas’ud berkata: “Kalau begitu saya tidak jadi pergi wahai
Rasulullah”. Rasul kemudian menjawab: “aku pun tidak akan memaksamu”
(HR. Abu Daud).
Sikap ini, tentu patut dicontoh oleh parpol Islam yang selama ini
“berjuang” di parlemen dan pemerintahan. Bila ia tidak mampu menerapkan
Islam dan mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat yang menjadi
tanggungannya, seharusnya mereka menyerahkan kekuasaan dan jabatan yang
diraihnya dalam sistem demokrasi itu. Lalu berjuang dengan
sungguh-sungguh dan konsisten, mengubah sistem ini dengan sistem Islam,
agar buka hanya orang Islam yang berkuasa melainkan juga sistem yang
diyakininya. Hanya dengan itu, ia dapat menunaikan amanahnya saat ia
berkuasa.
0 comments:
Post a Comment