(Dimuat dalam kolom opini Harian Inilah Koran, edisi 23 April 2014)
Oleh: Farhan Akbar Muttaqi, Divisi Penerangan Kajian Islam Mahasiswa UPI Bandung
Di gugu dan di tiru. Begitulah sematan masyarakat untuk menggambarkan
pentingnya sosok seorang guru. Guru hakikatnya adalah tauladan bagi
siapa saja yang dididiknya. Apa yang dikatakan dan diperbuatnya,
memiliki otoritas lebih besar untuk diikuti oleh siapapun.

LSM Sahara (Sahabat Anak dan Remaja) baru baru ini mengungkapkan,
bahwa pelecehan seksual yang dilakukan oleh guru kini cukup tinggi.
Terutama di Kabupaten Bandung. Di antara yang menyita perhatian khalayak
adalah tatkala terungkapnya kasus seorang Guru Honorer di SDN Margahayu
III yang melakukan pelecehan seksual terhadap ratusan siswinya dalam
rentang tahun 2007- 2013. Menurut LSM Sahara, yang dimaksud pelecehan
bukan terbatas pada anak yang diperkosa. Namun juga dipeluk, dicium,
atau dipegang bokong dan pahanya.(inilakoran, 21/4/14)
Kita tak bisa menutup mata, kasus semacam ini tak lagi bersifat
kasuistik dan hanya muncul di satu daerah tertentu. Keberadaannya kini
justru mewabah dan hampir merata di berbagai penjuru di negeri ini.
Melenyapkan rasa ‘malu’ yang katanya sejak masa lalu sudah menjadi
budaya yang mengurat akar pada jiwa masyarakat.
Memecahkan Masalah
Dimana ada asap, di situ ada api. Dimana ada masalah, di sana pasti
ada akar yang menyebabkan masalah itu menjalar. Dalam mengurai masalah
ini, kita memang mesti mendudukkan guru sebagai pihak ‘tersangka’ dalam
proporsinya seperti manusia yang lainnya. Dimana guru, bagaimanapun
juga, adalah makhluk yang memiliki kecenderungan untuk berbuat baik dan
juga buruk.
Maka di sini yang dipersoalkan adalah, mengapa kecenderungan buruk
itu muncul sedemikian mewabah? Kemudian bagaimana cara menekannya? Dalam
hal ini, setidaknya ada tiga hal yang disoroti islam untuk memecahkan
jawabannya.
Pertama, Sistem Pendidikan. Mesti dipahami, bahwa guru
adalah output dari sistem pendidikan. Setiap guru tentu merupakan warga
yang telah melalui berbagai jenjang pendidikan sebelum akhirnya menjadi
guru. Dan kepribadian guru, sedikit banyak pasti dipengaruhi oleh apa
yang diberikan kepadanya tatkala mendidik dirinya di berbagai jenjang
tersebut.
Tak bisa dipungkiri, bahwa kini sistem pendidikan kita di berbagai
jenjangnya masih kental dengan nuansa sekularisme. Sekularisme adalah
sebuah ide yang memisahkan agama dari kehidupan. Dimana agama, hanya
menjadi unsur ritualik dan simbolik yang penggunaannya terbatas dalam
ranah privat. Sementara untuk urusan yang terkategori publik, agama tak
diberi ruang untuk masuk sebagai sistem nilai yang mengikat setiap
manusia.
Para calon guru hari ini, cenderung tak diperhatikan pemahaman
agamanya. Padahal, Islam sebagai agama mayoritas penduduk negeri ini,
memiliki seperangkat konsep dan aturan yang dapat ditanamkan kepada
setiap insan. Dimana Allah SWT memberikan jaminan keberkahan bila
manusia mau mengintegrasikan hal tersebut dalam dirinya. “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, maka akan Kami limpahkan berkah dari langit dan bumi”(TQS; Al A’raf; 96)
Kedua, Budaya Saling Mengingatkan. Islam memandang, bahwa
manusia bukanlah robot. Ketika seorang manusia diberi pemahaman tentang
mana yang benar dan salah, akan tetap ada kecenderungan manusia untuk
mengingkari apa yang telah masuk ke dalam sistem berfikirnya. Artinya,
kecenderungan untuk berbuat salah akan tetap muncul. Termasuk, dalam
diri guru.
Maka di sinilah Islam menempatkan peran amar ma’ruf, nahyi mungkar
sebagai sebuah alat kontrol sosial. Dalam Islam, hendaknya setiap
elemen masyarakat saling memberikan nasihat untuk berbuat baik, dan
mencegah berbuat buruk. Aktivitas ini tentu bukan hanya tanggung jawab
para kiyai atau ustadz. Melainkan siapapun juga, selama ia memiliki
ilmunya. Tentu, hal ini hanya akan terwujud bila pemerintah dan para
ulama menghidupkan sistem yang dapat mendongkrak kapabilitas dan
kapasitas keilmuan masyarakat tentang agamanya. Bila tak demikian,
jangan harap fungsi amar maruf nahyi munkar sebagai alat kontrol sosial ini akan berjalan.
Ketiga, sistem sanksi dan pelaksanaannya. Tak dipungkiri, sekalipun
sudah diberikan pemahaman dan upaya pencegahan, kerap kali manusia
memang nekat untuk berlaku kriminal, termasuk guru. Parahnya, fakta
tersebut kini didukung dengan sistem sanksi yang kurang tegas, tak
memberikan efek jera dan relatif mudah di beli. Akibatnya, rasa takut
untuk berlaku menyimpang pun mudah lenyap dan hilang pada jiwa
seseorang.
Islam memiliki kejelasan dalam memandang apa yang dimaksud kriminalitas (jarimah). Dalam
Islam, setiap pelanggaran terhadap syariat adalah tindak kriminal.
Termasuk, Islampun memiliki sanksi yang tegas bagi pelaku kriminal.
Dalam Islam misalnya, pelaku zina, apabila sudah pernah menikah (muhshan) akan dirajam sampai mati. Sementara yang belum akan dicambuk 100 kali.
Sanksi ini harus ditegakkan. Bukan dalam rangka menerapkan pola
kekejaman. Namun sebagai perlindungan bagi manusia agar takut untuk
melakukan tindak kriminal yang dapat menjerumuskannya ke neraka, dan
membuat para wanita- termasuk siswa- untuk hidup dengan rasa aman dari
nafsu keji para lelaki, yang dalam hal ini gurunya sendiri.
Sesungguhnya, sistem pendidikan islami, budaya saling mengingatkan,
dan ketegasan sanksi serta pelaksanaan yang disampaikan di atas,
bukanlah hal yang utopia untuk diwujudkan. Ketiganya bisa benar benar
tegak bila Negara membangun negerinya bertolak pada view islam, dengan menjadikan Khilafah sebagai sistem politik yang diterapkannya.[]
0 comments:
Post a Comment