
**** **** ****
Khotbah yang disampaikan oleh wakil dari Al-Azhar Al-Syarif di atas
mimbar Rasulullah saw ini mengecam keterlibatan para ulama dalam
politik, dan menyerukan kepada para mahasiswa untuk menjauh dari
politik, sebaliknya ia ingin agar para politisi saja yang sibuk dengan
politik, sehingga merekalah yang menanggung dosanya dan merasakannya,
katanya.
Aneh bahwa perkataan seperti ini keluar dari orang yang bergelut
dengan ilmu syariah, bahkan dari orang yang mencerminkan Al-Azhar.
Apakah Anda melihat bahwa ia tidak mengerti hukum Islam tentang politik?
Dan apakah benar orang seperti dirinya itu tidak mengerti sikap Islam
terhadap politik? Jika ia mengerti, maka sikapnya itu adalah musibah.
Sebaliknya, jika ia tidak mengerti, maka lebih besar lagi musibahnya.
Jika saja sang Doktor yang menjadi wakil Al-Azhar Al-Syarif ini mau membuka kitab “Lisan a- Arab”, pasti ia menemukan di dalamnya materi kata “sawasa”, dan pasti ia menemukan contoh dari hadits Rasulullah saw: “Kânat Banû Isrâ’îl Tasûsuhum al-Anbiyâ’,
Dahulu kala Bani Israil diurusi oleh para nabi.” Aku tunjukkan kepada
wakil Al-Azhar Al-Syarif, dan para pembaca yang mulia situs “al-bahits al-arabi, http://www.baheth.info/all.jsp?term=سوس” ini agar dapat mencari sendiri makna kata tersebut dalam kamus-kamus bahasa Arab.
Sebenarnya, bisa saja wakil Al-Azhar Al-Syarif membukan Shahih
Bukhari untuk membaca hadits tersebut dalam Shahih Bukhari dan Muslim: “Aku
mengikuti majlis Abu Hurairoh selama lima tahun, dan aku mendengarnya
menyampaikan hadits dari Rasulullah saw, bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Dahulu kala Bani Israil diurusi oleh para Nabi. Dan setiap seorang Nabi
meninggal, maka digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya sesudahku
tidak ada nabi lagi. Sementara yang ada adalah para Khalifah, dan jumlah
mereka ini banyak.” Para sahabat bertanya: “Apa yang Engkau perintahkan
kepada kami?” Rasulullah saw bersabda: “Penuhilah baiat yang pertama
untuk yang pertama. Berikan kepada mereka haknya, karena Allah akan
meminta pertanggungjawaban kepada mereka tentang kepemimpinannya.” Dalam hal ini, wakil Al-Azhar Al-Syarif bisa mengakses situs “ad-durar as-sunniyah, http://www.dorar.net/hadith?skeys=تسوسهم” agar bisa melihat sendiri hadits tersebut dalam Shahih Bukhari, Muslim, dan selain dari keduanya.
Dan bisa juga wakil Al-Azhar Al-Syarif mempelajarinya dalam kitab-kitab as-siyasah as-syar’iyah (politik Islam), atau mungkin ia membacanya dalam kitab “at-taratib al-idariyah (al-hukumah an-nabawiyah)”,
karya Syaikh Abdul Hayyi al-Kattani, dimana dalam kitab tersebut
dijelaskan tentang politik negara Islam pertama yang didirikan oleh
Rasulullah saw di Madinah al-Munawwarah.
Ketika Barat berhasil menghancurkan negara Khilafah Islam,
merobek-robek negeri-negeri kaum Muslim, dan menempatkan di setiap
negeri Islam seorang penguasa yang melayani kepentingannya, dan
memalingkan masyarakat dari Islam, maka tersebar di tengah-tengah umat
Islam sejumlah konsep yang menyesatkan, di antaranya menjauhkan
masyarakat dari politik, memisahkan agama dari politik, dan
menggambarkan pada masyarakat bahwa tidak ada politik Islam, yang ada
hanya politik Barat, Machiavelli, yang tidak mengenal nilai apapun
kecuali nilai materi, yakni politik manfaat semata tanpa nilai
spiritual, moral atau kemanusiaan. Barat berusaha menjauhkan masyarakat
dari pemahaman yang benar tentang politik seperti yang ditentukan oleh
Islam, yaitu mengurusi setiap urusan masyarakat berdasarkan hukum Islam,
dalam dan luar negeri.
Namun sangat disayangkan, bahwa Al-Azhar dengan para ulamanya yang
terkenal memiliki pengetahuan ilmu syariah luas dan kebesaran di mata
dunia, justru darinya keluar seruan yang bertujuan untuk menjauhkan
masyarakat dari politik dan menyesatkan masyarakat—sungguh ini merupakan
bencana besar. Mungkin ia melakukan itu karena kebodohan terhadap
hukum-hukum Islam, dan mungkin juga ia sengaja menjauhkan masyarakat
dari Islam melalui mimbar Rasulullah saw.
Seharusnya yang dilakukan para ulama Al-Azhar Al-Syarif adalah
menyerukan para penguasa di Mesir dan di negeri-negeri kaum Muslim
lainnya agar menerapkan politik Islam, menjalankan pemerintahan
berdasarkan Islam dalam satu negara yang menyatukan seluruh kaum Muslim
(Khilafah), dan menjalankan setiap aktivitas politik dan yang lainnya
berdasarkan hukum-hukum Islam, serta menyeru umat untuk mengoreksi para
penguasa karena mereka sudah jauh dari Islam dalam bernegara, berpolitik
dan yang lainnya, daripada sibuk memalingkan masyarakat dari Islam! [Abu Muhammad Khalifah]
Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 24/2/2014.
0 comments:
Post a Comment