
Menjelang pergantian tahun, baik tahun baru masehi maupun hijriyah, ada kecenderungan baru di sebagian kalangan Muslim. Itulah muhasabah. Muhasabah
(menghisab diri)—yang biasanya dibarengi dengan zikir dan doa—mulai
menjadi ritual tahunan sebagian umat Islam belakangan ini. Tentu saja,
ritual muhasabah, zikir dan doa di penghujung tahun amatlah positif.
Namun demikian, sejatinya muhasabah tidak harus menunggu datangnya pergantian tahun. Bahkan muhasabah
selayaknya dilakukan setiap hari, bahkan setiap waktu. Baginda Nabi
Muhammad saw. pernah bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Syaddad bin
Aus ra., ”Orang yang cerdas adalah orang yang selalu mengendalikan hawa nafsunya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian.” (HR at-Tirmidzi; hadis hasan).
Dikatakan bahwa di antara pengertian ”orang yang mengendalikan hawa nafsunya” (mân dâna nafsahû)
dalam hadis di atas adalah orang yang selalu menghisab dirinya di dunia
sebelum dirinya dihisab pada Hari Kiamat. Terkait dengan hadis ini,
Umar bin al-Khaththab ra. pernah berkata, ”Hisablah diri kalian
sebelum kalian dihisab oleh Allah SWT kelak. Bersiaplah menghadapi Hari
Perhitungan yang amat dahsyat. Sesungguhnya hisab pada Hari Kiamat akan
terasa ringan bagi orang yang selalu menghisab diri ketika di dunia.” (Lihat: Al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarh Jamî’ at-Tirmidzi).
Muhâsabah (menghisab diri) sangatlah penting dilakukan oleh setiap Muslim. Dengan sering melakukan muhâsabah,
ia akan mengetahui berbagai kelemahan, kekurangan, dosa dan kesalahan
yang ia lakukan. Dengan itu, ia akan terdorong untuk selalu melakukan
perbaikan diri. Dengan itu pula, dari tahun ke tahun, dari bulan ke
bulan, dari hari ke hari, bahkan dari waktu ke waktu ia menjadi semakin
baik. Imannya makin kuat; ketakwaannya makin kokoh; shalatnya makin
khusyuk; amal shalihnya makin bertambah dan dosa-dosanya makin berkurang
karena semakin jarangnya ia bermaksiat; semangat dakwahnya makin
bergelora; pengorbanannya makin besar; akhlaknya makin terpuji—ia makin
ikhlas, makin tawaduk, makin wara’, makin menjaga setiap amanah dan makin taqarrub kepada Allah SWT.
Tentu, jarangnya seorang Muslim melakukan muhâsabah merupakan musibah. Betapa tidak. Dengan jarangnya ber-muhâsabah
(menghisab diri), seorang Muslim sering merasa tidak ada yang kurang
pada dirinya; ia merasa dirinya baik-baik saja. Padahal boleh jadi,
imannya makin rapuh, ketakwaannya makin terkikis, shalatnya tidak lagi
khusyuk, amal shalihnya sudah jauh berkurang, dosa-dosanya makin
bertambah, semangat dakwah hampir-hampir padam, pengorbanannya makin
menipis, akhlaknya makin jauh dari islami—mulai sering muncul
ketidakikhlasan, ketidaktawadukan, ketidak-wara’-an,
ketidakamanahan dan makin jauh dari Allah SWT. Namun, semua itu sering
tidak ia sadari karena kepekaan spiritual memang telah hilang dari
dirinya akibat jarangnya ia melakukan muhâsabah.
Akibat lebih jauh, ia sering merasa tidak berdosa atau bersalah saat
shalatnya lalai dan tidak khusyuk, saat amal shalihnya semakin
berkurang, saat melalaikan banyak amanah dan saat melakukan banyak dosa;
seperti sering melihat hal-hal yang haram, mendengar hal-hal yang
sia-sia, melakukan hal-hal yang syubhat, dll. Ia pun tidak lagi merasa
menyesal saat sering meninggalkan shalat berjamaah, saat jarang
melakukan shalat malam, saat shalat subuhnya suka terlambat, saat tidak
mampu lagi berpuasa sunnah, saat jarang membaca al-Quran, saat tidak
lagi bisa menangis ketika berdoa, dll. Tentu, semua itu, sekali lagi
karena jarangnya ia melakukan muhâsabah.
Abu Bakar ash-Shiddiq ra. pernah memuntahkan kembali makanan, yang
baru belakangan beliau ketahui, bahwa makanan itu ternyata merupakan
pemberian dari tukang ramal. Saat beliau ditanya, mengapa berlaku
demikian, beliau menjawab, ”Andai untuk memuntahkan makanan itu saya
harus menebusnya dengan nyawa saya, saya pasti akan melakukannya. Sebab,
saya pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, ’Badan yang tumbuh dengan makanan yang haram maka api neraka lebih baik baginya.’” (Kanz al-’Umal).
Hal yang sama dilakukan oleh Umar bin al-Khaththab ra. Beliau pernah
memuntahkan kembali air susu yang beliau minum, karena baru belakangan
beliau tahu, bahwa ternyata air susu itu berasal dari unta sedekah (Imam
Malik, Al-Muwaththa).
Secuil kisah di atas—yang benar-benar nyata—mungkin bagi kita semacam
kisah-kisah ’manusia langit’ yang sepertinya mustahil kita teladani.
Asumsi semacam itu sesungguhnya hanyalah menunjukkan, bahwa kita
benar-benar sudah sangat jauh dengan keteladanan Baginda Nabi saw., para
Sahabat dan generasi salafush-shalih dulu. Mengapa? Karena mungkin—salah satunya—kita jarang melakukan muhâsabah.
Kalaupun kita melakukannya, mungkin itu kita lakukan setahun sekali,
saat pergantian tahun atau saat ’berulang tahun’, atau mungkin saat
terkena musibah. Padahal dosa dan kemaksiatan kita lakukan setiap hari,
bahkan mungkin setiap waktu. Tentu, semua dosa dan kemaksiatan itu
sangat mudah kita lupakan, karena muhâsabah setahun sekali tak
mungkin bisa mendeteksi seluruh dosa setiap hari, apalagi setiap waktu.
Dosa setiap hari atau setiap waktu hanya akan mudah dideteksi jika kita
melakukan muhâsabah setiap hari atau setiap waktu.
Wa mâ tawfîqî illâ billâh wa ’alayhi tawakkaltu wa ilayhi unîb. [] abi
0 comments:
Post a Comment