Oleh Iwan Januar
Seperti sudah ditebak para pengamat politik, presiden dan partainya –
Demokrat – bereaksi keras terhadap keputusan Pertamina menaikkan harga
elpiji tabung 12 kg. Jajaran menteri terkait juga memprotes keputusan
perusahaan tambang minyak bumi dan gas alam nasional ini. Dengan reaksi
keras dan aneka protes dari presiden dan jajaran menterinya, tak
ketinggalan Partai Demokrat, makin memurukkan posisi Pertamina.
Pertamina-lah yang salah, bukan pemerintah.
Benar begitu?
Nanti dulu. Pertamina itu adalah korporat, bukan
pemerintah. Memang BUMN, tapi ibarat kata ia sudah ‘dilepas’ untuk
bertarung di bisnis migas dengan perusahaan-perusahaan tambang lain.
Maka saat ditemukan kerugian pada Pertamina, sontak naluri bisnis
korporat pun jalan. Elpiji tabung 12 kg pun dinaikkan untuk menutup
kerugian.
Ketika masyarakat marah dan frustrasi dengan kenaikan
ini – apalagi di tahun panas jelang pemilu – presiden, para menteri
terkait, dan Partai Demokrat pun merasa ‘harus’ marah. Karena seperti
kata pengamat ekonomi Ichsan Noorsy di satu tv swasta, Pertamina telah
merugikan SBY dan Partai Demokrat! Rakyat? Wallahualam.
Kelihatan pemerintah ingin berlepas tangan lalu
mengkambinghitamkan Pertamina. Semua sumpah serapah publik ingin
ditumpahkan kepada Pertamina. Padahal, Pertamina hanyalah operator
migas. Hanya pelaksana. Apa pantas semua ‘dosa’ dipikul Pertamina?
Bukankah Pertamina BUMN, milik pemerintah? Bagaimana bisa pemerintah tak
punya kendali mengatur harga gas bumi?
Jangan lupa, harga gas alam juga tidak diserahkan kepada
mekanisme pasar, yang bisa fluktuasi naik dan turun. Hal ini sesuai
dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan salah satu
pasal dalam Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi, yang menyerahkan penentuan harga migas mengikuti mekanisme
pasar, sehingga harganya akan berfluktuasi mengikuti harga migas di
pasar internasional.
Kejahatan sebenarnya adalah di tangan pemerintah dan
ekonom negeri ini yang membiarkan sistem ekonomi liberal berkuasa.
Termasuk membiarkan hajat hidup orang banyak – seperti migas – dikuasai
asing, dan tidak diberikan manfaat sebesar-besarnya kepada rakyat.
Pemerintah dalam sistem ekonomi liberal memang tidak
memposisikan diri sebagai pelayan dan pengurus rakyat. Karena berlaku
prinsip survival of the fittest. Hanya yang kuat yang bertahan. Jadi tak ada hubungan ri’ayah
(pelayanan) dari negara kepada publik. Buktinya, mengapa pemerintah
tidak membangun infrastruktur gas alam yang tersambung ke rumah-rumah
warga?
Tragisnya lagi, pemerintah lebih mempertahankan
kebijakan mengekspor gas alam dalam jumlah besar ke luar negeri,
membiarkan negeri ini defisit gas. Dan yang paling tidak waras, harga
jual gas ke negara lain jauh lebih murah ketimbang harga jual ke rakyat
sendiri. Produksi gas alam dari blok Tangguh ke Cina diobral
habis-habisan. Harga gas ke Fujian China hanya US$ 3,45 per MMBTU,
sementara harga gas ekspor Indonesia ke luar negeri di atas US$ 18 per
MMBTU sedangkan harga gas domestik US$ 10 per MMBTU.
Artinya harga gas untuk warga Cina di RRC hanya
seperempat harga gas untuk rakyat sendiri. Beruntunglah rakyat RRC
karena mereka hidup makmur disubsidi oleh pemerintah Indonesia. Jadi ini
pemerintahnya siapa sih? Kebijakan jual obral gas ke Cina dilakukan
sejak jaman Megawati. Tapi sampai sekarang presiden RI tak pernah
menegosiasi lagi harga itu.
Pembaca budiman, semestinya ini jadi pelajaran bahwa
pemerintah yang tunduk pada sistem ekonomi liberalisme, tak akan pernah
bisa mensejahterakan rakyat. Sistem ini sudah saatnya dimasukkan kotak
sampah. Di depan mata kita, di dalam lembaran al-Quran, sudah ada
tuntunan kehidupan yang lebih jernih, jelas, adil, dan mendatangkan
barakah dari langit. Masihkah kita meragukan kebenaran dari Allah SWT.?
(iwanjanuar.com, 6/1/2014)
0 comments:
Post a Comment