بسم الله الرحمن الرحيم
Rangkaian Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau
Jawaban Pertanyaan: Jin dan Karakter Hubungan Jin dengan Manusia
Kepada Jaradat Salem
Pertanyaan:
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Ya syaikhiy
Sudah diketahui bersama bahwa dalil masalah akidah ada yang berupa
dalil aqliy dan ada yang berupa dalil naqliy. Keimanan terhadap
keberadaan jin dalilnya adalah naqliy, dikarenakan tidak adanya dalil
(bukti) fisik yang bisa diindera yang menuntun kepada keimanan terhadap
eksistensi jin secara akal.
Pertanyaannya: bagaimana bisa dipertemukan dengan semua itu, bahwa
para ulama mengatakan adanya kesurupan atau kemasukan setan atau
bentuk-bentuk intervensi fisik antara jin dan manusia?
Apakah benar bila dikatakan bahwa jin memiliki hubungan dengan jasad
dan penyakit-penyakit atau gangguan kerja organ tubuh yang menimpa
seseorang ?
Terakhir, bagaimana ayat-ayat dan hadits-hadits yang dinyatakan terkait lafazh-lafazh al-mass (penyakit gila) dan semacamnya, jika tidak dipahami seperti yang dipahami para ulama?
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
- Jin termasuk makhluk ghaib. Kita tidak bisa melihatnya. Allah SWT berfirman:
﴿يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ تَرَوْنَهُمْ﴾
“Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (TQS al-A’raf [7]: 27)
Yakni iblis dan kaumnya. Dengan ungkapan lain adalah jin, dimana iblis adalah termasuk jin.
﴿إِلاَّ إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ﴾
“kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin.” (TQS al-Kahfi [18]: 50)
- Yang asal dalam hubungan kita dengan jin adalah bahwa mereka mampu membisiki kita. Allah SWT berfirman:
﴿فَوَسْوَسَ لَهُمَا الشَّيْطَانُ﴾
“Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya…” (TQS al-A’raf [7]: 20)
Allah SWT juga berfirman:
﴿فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ﴾
“Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya …” (TQS Thaha [20]: 120)
Syaitan di sini adalah Iblis dan dia berasal dari golongan Jin.
- Syaitan tidak memiliki kekuasaan memaksa terhadap manusia, kecuali manusia mengikuti syaitan dengan pilihannya sendiri. Allah SWT berfirman:
﴿وَقَالَ الشَّيْطَانُ لَمَّا قُضِيَ الأَمْرُ إِنَّ
اللَّهَ وَعَدَكُمْ وَعْدَ الْحَقِّ وَوَعَدْتُكُمْ فَأَخْلَفْتُكُمْ وَمَا
كَانَ لِيَ عَلَيْكُمْ مِنْ سُلْطَانٍ إِلاَّ أَنْ دَعَوْتُكُمْ
فَاسْتَجَبْتُمْ لِي﴾
“Dan berkatalah syaitan tatkala perkara (hisab) telah
diselesaikan: “Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang
benar, dan akupun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya.
Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar)
aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku.” (TQS Ibrahim [14]: 22)
Allah SWT juga berfirman:
﴿إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ إِلاَّ مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْغَاوِينَ﴾
“Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu
terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu
orang-orang yang sesat.” (TQS al-Hijr [15]: 42)
Allah SWT juga berfirman:
﴿فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآَنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ
مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ * إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى
الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ * إِنَّمَا
سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ
مُشْرِكُونَ﴾
Apabila kamu membaca Al-Quran hendaklah kamu
meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.
Sesungguhnya syaitan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang
beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaannya
(syaitan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan
atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah. (TQS an-Nahl [16]: 98-100)
- Hubungan fisik apapun selain hubungan asal yang telah dijelaskan oleh Allah SWT ini memerlukan nash khusus yang menyatakannya. Jika ada nash khusus yang menyatakan semisal kondisi ini, maka kita mengimani kondisi itu sesuai yang dinyatakan oleh nash.
Misalnya, kekuasaan Sulaiman as. terhadap jin dan kekuasaan Sulaiman
untuk memerintah dan melarang para jin … Perkara ini terdapat nash yang
menyatakannya sehingga kita mengimaninya. Allah SWT berfirman di dalam
surah an-Naml tentang Sulaiman as.:
﴿قَالَ يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ أَيُّكُمْ يَأْتِينِي
بِعَرْشِهَا قَبْلَ أَنْ يَأْتُونِي مُسْلِمِينَ * قَالَ عِفْريتٌ مِنَ
الْجِنِّ أَنَا آَتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ تَقُومَ مِنْ مَقَامِكَ وَإِنِّي
عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٌ﴾
“Berkata Sulaiman: “Hai pembesar-pembesar, siapakah di
antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum
mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri”. Berkata
‘Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: “Aku akan datang kepadamu
dengan membawa singgsana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat
dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat
dipercaya”. (TQS an-Naml [27]: 38-39)
Allah SWT juga berfirman:
﴿وَلِسُلَيْمَانَ الرِّيحَ غُدُوُّهَا شَهْرٌ
وَرَوَاحُهَا شَهْرٌ وَأَسَلْنَا لَهُ عَيْنَ الْقِطْرِ وَمِنَ الْجِنِّ
مَنْ يَعْمَلُ بَيْنَ يَدَيْهِ بِإِذْنِ رَبِّهِ وَمَنْ يَزِغْ مِنْهُمْ
عَنْ أَمْرِنَا نُذِقْهُ مِنْ عَذَابِ السَّعِيرِ * يَعْمَلُونَ لَهُ مَا
يَشَاءُ مِنْ مَحَارِيبَ وَتَمَاثِيلَ وَجِفَانٍ كَالْجَوَابِ وَقُدُورٍ
رَاسِيَاتٍ اعْمَلُوا آَلَ دَاوُودَ شُكْرًا وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ
الشَّكُورُ﴾
“Dan Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman, yang
perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan
perjalanannya di waktu sore sama dengan perjalanan sebulan (pula) dan
Kami alirkan cairan tembaga baginya. Dan sebahagian dari jin ada yang
bekerja di hadapannya (di bawah kekuasaannya) dengan izin Tuhannya. Dan
siapa yang menyimpang di antara mereka dari perintah Kami, Kami rasakan
kepadanya azab neraka yang apinya menyala-nyala. Para jin itu membuat
untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi
dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan
periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah hai keluarga Daud
untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku
yang berterima kasih.” (TQS Saba’ [34]: 12-13)
- Rasulullah saw menyelesaikan suatu kejadian fisik apapun dari sisi perlakuan manusia, selama tidak dinyatakan nash khusus sesuai dengan wahyu bahwa perlakuan ini memiliki hubungan dengan jin. Setiap kejadian diselesaikan seperti itu. Jika seseorang terbunuh, misalnya, tidak terlintas dalam benak bahwa jin lah yang membunuhnya, kecuali ada nash tentang hal itu. Begitulah, seperti kejadian seorang laki-laki yang terbunuh di Khaybar, maka pencarian difokuskan bahwa yang membunuhnya adalah manusia; dan tidak beralih kepada jin:
Imam Muslim telah mengeluarkan di dalam Shahihnya
bahwa Abdullah bin Sahal dan Muhaishah keluar ke Khaybar karena
kesusahan yang menimpa mereka. Lalu Muhaishah datang dan memberitahu
bahwa Abdullah bin Sahal telah terbunuh dan dilemparkan jasadnya ke mata
air atau di Qir. Muhaishah datang kepada Yahudi dan berkata, “Demi
Allah kalian yang membunuhnya.” Mereka menjawab, “Demi Allah kami tidak
membunuhnya…” Lalu kasus itu sampai kepada Rasulullah saw maka Beliau
saw bersabda:
«إِمَّا أَنْ يَدُوا صَاحِبَكُمْ وَإِمَّا أَنْ
يُؤْذِنُوا بِحَرْبٍ فَكَتَبَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
إِلَيْهِمْ فِي ذَلِكَ فَكَتَبُوا إِنَّا وَاللَّهِ مَا قَتَلْنَاهُ…»
“Mereka bayar diyat untuk teman kalian atau dimaklumkan perang
terhadap mereka”, dan Rasulullah saw menulis surat kepada mereka tentang
hal itu. Mereka pun menulis surat balasan, “Sungguh kami tidak
membunuhnya …”
Cerita ini sudah dikenal luas. Dan dalam kasus ini tidak masuk pembahasan aktifitas jin baik dari dekat atau jauh.
- Atas dasar itu, selama tidak ada nash yang menyatakan hubungan fisik jin pada suatu kejadian, maka hubungan yang ada antara jin dan manusia hanya hubungan pembisikan, tidak lebih dari itu.
Karena risalah Rasul SAW adalah risalah penutup dan tidak ada wahyu
sesudahnya, maka tidak ada nash baru. Karena itu, tidak ada hubungan
fisik antara kita dengan jin. Hubungan antara kita dengan jin hanyalah
hubungan pembisikan. Dan seperti yang kami katakan, tidak ada kekuasaan
bagi pembisikan jin terhadap seseorang kecuali jika seseorang itu
memenuhi bisikan itu dengan pilihannya sendiri.
Begitulah, perkara-perkara fisik pada masa khulafa ar-rasyidun
diselesaikan. Pada suatu kejadian, pembunuhan atau pencurian, perampasan
atau perampokan, … benak tidak beralih kepada jin, akan tetapi tetapi
kepada manusia. Sebab hubungan jin adalah hubungan pembisikan, kecuali
jika ada nash khusus. Dan karena tidak ada nash khusus setelah
Rasulullah saw, dan semua kejadian fisik adalah berasal dari manusia dan
bukan dari jin. Jadi alam jin itu bukan alam kita. Hubungan jin dengan
kita adalah hubungan pembisikan dan bukan yang lain.
Berdasarkan hal ini, maka manusia jika dia sakit maka tidak ada
hubungan dengan jin dalam masalah itu. Akan tetapi sakit itu
diselesaikan sesuai apa yang dinyatakan di dalam Islam. Yakni dengan
jalan berobat:
Baik berupa obat fisik seperti yang ada di dalam hadits dari jalur
Usamah bin Syuraik, ia berkata, “Aku datang kepada Nabi saw dan para
sahabat beliau seolah-olah di atas kepala mereka ada burung, lalu aku
ucapkan salam lalu aku duduk. Kemudian datang seorang Arab Baduwi dari
sini, sini dan situ, lalu mereka berkata, “Ya Rasulullah apakah kita
(perlu) berobat?” Rasulullah saw menjawab:
«تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ الْهَرَمُ»
“Berobatlah kalian sebab sesungguhnya Allah azza wa jalla
tidaklah menciptakan penyakit kecuali Dia menciptakan obat untuk
penyakit itu kecuali satu penyakit al-harmu.”
Yaitu kematian. (HR Abu Dawud)
Atau berobat dengan doa dan ruqyah, seperti dinyatakan di dalam
hadits yang dikeluarkan oleh imam Muslim dari jalur Aisyah Ummul
Mukminin ra.:
:«أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ
يَرْقِي بِهَذِهِ الرُّقْيَةِ أَذْهِبْ الْبَاسَ رَبَّ النَّاسِ بِيَدِكَ
الشِّفَاءُ لاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ أَنْتَ»
“Rasulullah saw meruqyah dengan ruqyah ini “hilangkanlah penyakit
tersebut Wahai Rabb manusia, di tangan Engkau lah kesembuhan, tidak ada
zat yang menyembuhkan untuknya kecuali Engkau.”
Atau doa-doa semacamnya dari al-Quran, as-Sunnah atau doa apa saja yang sesuai dengan al-Quran dan as-Sunanh.
Adapun merujuk kepada orang yang mengklaim bahwa dia memiliki
hubungan fisik dengan jin untuk menyembuhkan orang sakit, maka itu
adalah penipuan dari para dajjal itu yang menjerumuskan orang-orang lugu
dari manusia untuk memeras mereka dan memakan harta mereka dengan cara
batil.
- Sedangkan tafsir ayat yang di dalamnya dinyatakan “al-massu –penyakit gila-” dan mungkin yang Anda maksudkan adalah surah al-Baqarah ayat 275 yaitu:
﴿الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ
إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا﴾
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu,
adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli
itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.” (TQS al-BAqarah [2]: 275)
Tafsir atau penjelasan ayat tersebut adalah sebagai berikut:
- Allah telah membuat permisalan untuk orang yang memakan riba seperti orang yang kemasukan syaitan, berdiri dan jatuh sempoyongan dan orang gila itu mengambil apa saja. Hal itu karena ia menganggap riba seperti jual beli, padahal Allah telah mengharamkan riba dan menghalalkan jual beli.
﴿الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا﴾ yakni mengambilnya, dan itu berlaku umum mencakup semua bentuk pemanfaatan riba. Kata ﴿يَأْكُلُونَ﴾ digunakan di dalam al-Quran untuk menunjukkan dzamm (celaan).
﴿إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا﴾
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara
zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka
akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (TQS an-Nisa’ [4]: 10)
﴿يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الْأَنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَهُمْ﴾
“Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka
makan seperti makannya binatang. Dan jahannam adalah tempat tinggal
mereka.” (TQS Muhammad [47]: 12)
Dan demikian juga kata tersebut di dalam ayat ini untuk menyatakan celaan.
﴿لَا يَقُومُونَ ﴾
“tidak dapat berdiri“
﴿إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ …﴾
“melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan” (TQS al-Baqarah [2]: 275)
Yakni bahwa mereka dibangkitkan dari kubur mereka, mereka berdiri
seperti berdirinya orang yang kemasukan setan di dunia –yakni orang
gila-. Hal itu adalah kehinaan untuk mereka pada hari itu dan itu
merupakan indikasi (qarinah) bahwa larangan tersebut adalah larangan
bersifat jazim (tegas) dari mengambil riba yang penegasan pengharamannya
diulang-ulang di dalam ayat ini. ﴿مِنَ الْمَسِّ﴾ yakni gila. Dikatakan mussa ar-rajulu dan dia mamsûs jika dia gila. Dan al-khabthu adalah berdiri tidak tegak seperti berdiri sempoyongan.
Terdapat riwayat tentang tafsir:
﴿إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ …﴾
“melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan” (TQS al-Baqarah [2]: 275)
Dan yang rajih dari riwayat-riwayat itu adalah bahwa manusia ketika
tertimpa penyakit gila membuat syaitan memiliki pengaruh lebih besar
terhadapnya melalui bisikan-bisikannya, sehingga syaitan membuatnya
mengkhayalkan banyak perkara yang menyebabkan orang gila itu
sempoyongan.
Adapun ucapan bahwa syaitan lah yang merasukinya atau menyebabkan dia
gila maka ayat tersebut tidak mengatakan demikian. Allah SWT tidak
mengatakan “yatakhabbatuhu asy-syaitân bi al-massi yakni syaitan menimpakan padanya penyakit gila. Melainkan ayat tersebut mengatakan ﴿يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ﴾ yakni setan merasukinya dikarenakan penyakit gilanya. Artinya bahwa penyakit gila itu ada lebih dahulu dari kerasukan setannya.
Ini adalah yang rajih menurut saya tentang tafsir ayat ini. Dan
pemisalan orang yang makan riba seperti orang yang kemasukan setan
lantara penyakit gila yakni disebabkan gila. Artinya bahwa penyakit gila
mendahului kemasukan setan untuk seseorang itu. Jadi seseorang itu gila
karena sebab tertentu kemudian kemasukan syaitan dengan bisikan-bisikan
dan khayalan-khayalan.
Jadi setan tidak merasuki seseorang yakni tidak membuatnya gila. Jika tidak niscaya ayat tersebut menyatakan “اَلَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ بِالْمَسِّ”, dan huruf al-ba’
memberikan faedah membuatnya gila. Ini adalah pemisalan deskriptif dan
bisa diindera yang sangat mengerikan dikarenakan besarnya dosa orang
yang memakan riba…
Saudaramu
Ath’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
15 Shafar 1435 H
18 Desember 2013 M
0 comments:
Post a Comment