Perayaan Natal dalam Negara Khilafah
Oleh: Ust. Hafidz Abdurrahman (DPP HTI)
Negara Khilafah, meski dibangun berdasarkan akidah Islam, dan
menerapkan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan, tetapi Negara
Khilafah tetap memberikan toleransi dan kebebasan kepada umat non-Islam
untuk memeluk, dan menjalankan agamanya. Mereka dibiarkan memeluk
keyakinannya, dan tidak akan dipaksa untuk memeluk Islam.
Jaminan ini ditegaskan dalam Alquran, “La ikraha fi ad-din” (Tidak ada
paksaan dalam memeluk [agama] Islam) (Q. al-Baqarah [02]: 256). Nabi SAW
juga bersabda, “Man kana ‘ala Yahudiyyatihi au Nashraniyyatihi fainnahu
la yuftannu” (Siapa saja yang tetap dengan keyahudiannya, atau
kenasraniannya, maka tidak akan dihasut [untuk meninggalkan agamanya]).
Begitulah Islam menjaga dan melindungi penganut agama non-Islam yang
hidup dalam naungan Negara Khilafah. Mereka mendapatkan perlindungan
itu, karena dzimmah yang diberikan oleh negara kepada mereka.
Hak Beragama
Perlu dicatat, Ahli Dzimmah adalah orang non-Muslim yang tunduk di
bawah sistem Islam, dengan tetap memeluk agamanya. Mereka berkewajiban
untuk membayar jizyah, dan tunduk kepada sistem Islam. Sebagai
imbalannya, mereka diberi hak untuk hidup di dalam naungan khilafah,
dengan tetap memeluk agama mereka, serta bebas menjalankan ibadah,
makan, minum, berpakaian, nikah dan talak menurut agama mereka.
Hanya saja, karena mereka hidup di bawah naungan khilafah, yaitu negara
yang berdasarkan akidah Islam, serta menjalankan syariat Islam, maka
tentu tidak mungkin agama lain selain Islam lebih menonjol, atau
setidaknya sama dengan Islam. Baik dalam hal syiar, simbol maupun
atribut yang tampak di permukaan. Karena Nabi SAW menegaskan,
“al-Islamu ya’lu wa la yu’la ‘alaihi” (Islam itu tinggi, dan tidak ada
yang bisa menandingi ketinggian Islam).
Karena itu, di zaman
Khilafah Islam, orang-orang non-Muslim yang hidup di dalam wilayah
Negara Khilafah menyadari betul posisi dan kedudukan mereka. Ketika
mereka hendak mengajukan dzimmah kepada khilafah, mereka membuat
proposal yang membuat khalifah berkenan menerima dzimmah mereka.
Maka wajar, jika kemudian dalam proposal mereka, misalnya menyatakan
tidak akan mengajak atau memengaruhi orang Islam untuk mengikuti agama
mereka. Termasuk tidak akan mendirikan gereja, atau kalau ada yang
rusak, tidak akan direnovasi. Mereka tidak akan membunyikan lonceng
gereja, memakai atribut agama mereka di depan kaum Muslim, dan banyak
lagi yang lain. Begitulah di antara klausul proposal yang mereka ajukan
kepada khalifah, agar bisa mendapatkan dzimmah dari Negara Khilafah.
Karena kesadaran itulah, maka orang-orang non-Muslim yang mendapatkan
dzimmah dari Negara Khilafah itu tidak neko-neko. Karena, kalau mereka
neko-neko, jaminan dzimmah itu bisa dicabut, dan mereka diusir dari
wilayah khilafah, atau diperangi hingga habis. Karena itu, mereka tidak
pernah menuntut lebih dari hak yang mereka ajukan kepada negara. Mereka
juga tidak akan minta ditoleransi oleh umat Islam dan negara dalam
menjalankan agama mereka, lebih dari apa yang telah menjadi haknya.
Merayakan Perayaan Agama
Perayaan agama adalah bagian dari ritual agama, karena itu mereka pun
dibiarkan untuk merayakan perayaan agama mereka. Bagi orang Kristen,
yang hendak merayakan Hari Raya Paskah atau Natal, misalnya, diberi
kebebasan. Hari Paskah diyakini oleh umat Kristiani sebagai hari
bangkitnya Isa al-Masih. Biasanya dirayakan pada akhir Maret atau April.
Bagi umat Kristiani Timur dirayakan pada awal April hingga Mei.
Peristiwa bangkitnya Isa al-Masih, atau yang biasa dikenal dengan
turunnya Isa al-Masih itu diyakini oleh penganut Kristiani terjadi pada
tahun 27-33 M. Di Geraja Katolik, perayaan ini dilakukan selama 8 hari,
juga disebut Hari ke-8 setelah perayaan gereja Octave of Easter. Hari
Raya Paskah ini diawali dengan Minggu Berkabung, yang jatuh pada minggu
terakhir dari 40 hari puasa. Minggu ini dimulai hari Ahad, dan berakhir
pada hari Sabtu, malam Sabtu Cahaya. Hari yang dianggap paling suci
dalam seminggu berkabung ini adalah hari Jum’at Berkabung, atau Jum’at
Agung, yaitu Jum’at sebelum Hari Paskah.
Pada hari ini dilakukan
ritual sembayang tertentu, dan membaca Injil, terutama ayat-ayat tentang
peristiwa penyaliban. Itu merupakan hari suci bagi umat Kristiani.
Mayoritas gereja Kristen mempercayai, bahwa Isa al-Masih disalib,
meninggal dunia, kemudian bangkit pada hari ketiga. Selain ritual ini,
mereka juga menjalankan puasa, yang terdiri dari: Puasa Besar, yang
dilakukan sebelum Hari Paskah. Puasa Kecil, yang dilakukan sebelum
Natal. Selain itu, juga ada praktik puasa-puasa lain, menurut ritual dan
sekte masing-masing.
Puasa Besar dalam tradisi Kristen Barat
dan Timur dilakukan selama 40 hari. Waktunya bisa berbeda-beda, sesuai
dengan jatuhnya Hari Pasca Agung, yang ditetapkan berdasarkan
perhitungan astronomi (hisab).
Adapun Hari Natal, atau
Christmas, yang diyakini sebagai Hari Kelahiran Isa al-Masih, merupakan
sentral perayaan agama Kristen. Syiar perayaan Natal ini tampak pada
pohon Natal, Malam Kelahiran, Pertemuan Keluarga, Sinterklas, dan
pemberian hadiah. Mereka merayakan Tahun Baru Masehi, yaitu malam
tanggal 31 Desember, yang dirayakan tiap tahun, di penghujung tahun,
mengawali pergantian tahun baru.
Selain perayaan-perayaan
tersebut, mereka juga memperingati Kelahiran Bunda Maria, Hari
Diangkatnya Salib (Isa al-Masih), sebagaimana umat Katolik meyakini
Penebusan Dosa Santo dan Hari Raya Santo. Ada juga perayaan yang identik
dengan Kristen, seperti Hollowen dan Valentine Day. Inilah
bentuk-bentuk ritual dan perayaan dalam agama Kristen. Selama ini
merupakan bagian dari agama mereka, maka semuanya ini boleh saja mereka
rayakan.
Ruang Perayaan
Meski tidak dilarang, tetapi
perayaan ini tetap diatur oleh Negara Khilafah. Selain berdasarkan
klausul dzimmah mereka, juga filosofi “al-Islamu ya’lu wa la yu’la
‘alaihi” (Islam itu tinggi, dan tidak ada yang bisa menandingi
ketinggian Islam) tetap harus dipegang teguh. Karena itu, perayaan ini
dibatasi dalam gereja, asrama dan komunitas mereka. Di ruang publik,
seperti televisi, radio, internet atau jejaring sosial yang bisa diakses
dengan bebas oleh masyarakat tidak boleh ditampilkan.
Alasannya, karena ini bertentangan dengan akad dzimmah mereka. Selain
itu, ini juga menyalahi filosofi “al-Islamu ya’lu wa la yu’la ‘alaihi”
(Islam itu tinggi, dan tidak ada yang bisa menandingi ketinggian Islam).
Para ulama juga telah membahas larangan mengucapkan selamat kepada
mereka, baik secara pribadi apalagi sebagai pejabat publik.
Begitulah Islam memberikan toleransi kepada mereka. Begitulah Islam
menjaga dan melindungi agama dan keyakinan mereka. Mereka tidak diusik,
dan diprovokasi untuk meninggalkan agamanya. Namun, mereka juga tidak
dibenarkan untuk mendemonstrasikan dan memprovokasi orang Islam agar
memeluk keyakinan mereka. Begitulah cara Negara Khilafah memberi ruang
kepada mereka. Wallahu a’lam.[]
÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷
Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia
www.hizbut-tahrir.or.id
0 comments:
Post a Comment