Di Mesir, panitia pemilihan mengumumkan sekitar 38,6 % persen dari
53 juta pemilih yang berhak memilih memberikan suaranya. Dan hasilnya,
sangat mencengangkan: 98,1 % menyatakan setuju untuk UUD baru ini.
Menlu Amerika John Kerry pun menyambut baik hasil referendum ini dan
mengatakan Mesir harus sepenuhnya melaksanakan hak-hak dan kebebasan
yang dijamin oleh konstitusi Baru.
UUD Mesir yang baru ini sangat jelas mengarahkan Mesir menjadi yang
sekuler dan liberal. Dalam pembukaan rancangan konstitusi ini.
Ditegaskan bahwa Mesir akan membangun pemerintah yang demokratis, negara
modern dengan pemerintah sipil.
Islampun hanya diakui sebagai agama negara. Mesir bukanlah negara
Islam yang berdasarkan syariah Islam. Bahkan partai Islampun dilarang
bediri, dengan adanya pasal yang melarang berdirinya partai politik yang
berdasarkan agama.
Sangat jelas, larangan partai politik berbasis agama, ditujukan untuk
melumpuhkan aspirasi politik Islam, lebih khusus lagi keinginan untuk
menegakkan negara Islam. Mereka berharap bisa mematikan gerakan
politik Islam yang dianggap militan atau radikal. Atau paling tidak
menjinakkan kelompok-kelompok politik Islam ideologis menjadi moderat
dan pragmatis.
Meskipun diklaim demokratis, referendum ini dilaksanakan dalam
atmosfir politis yang penuh dengan tekanan dalam kontrol militer.
Media-media massa dikontrol penuh rezim militer, media yang tidak
sejalan ditekan dan ditutup. Sebagai bagian dari mematikan aspirasi
politik Islam , rezim diktator pun melakukan pengontrolan terhadap rumah
masjid-masjid.
Tema khutbahpun dipaksakan sama oleh Kementerian Islam Mesir. Isinya
sebatas masalah spiritual dan sosial dan dijauhkan dari politik.
Sebelumnya, rezim militer hanya mengizinkan ulama-ulama yang mendukung
rezim diktator sebagai Khotib. Ribuan masjid ditutup untuk untuk
menghalangi ulama-ulama yang kritis terhadap pemerintah menyampaikan
ceramahnya.
Tren yang sama terjadi di Tunisia . Sekjen Perserikatan
Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon memuji konstitusi baru Tunisia dengan
mengatakan ia yakin negara itu dapat menjadi “contoh bagi rakyat
negara-negara lain yang mengusahakan reformasi.”
Meskipun mengakui Islam sebagai agama negara, namun UUD ini tidak
menjadikan syariah Islam sebagai dasar hukum negara. UUD itu menjadikan
Tunisia negara demokrasi yang tidak didasarkan pada hukum Islam.
Aktifitas politik Islam justru dianggap kriminal.
Upaya mensekulerisasikan Tunisia juga tampak jelas dalam pasal UUD
Tunisia. Disebutkan pemerintah menjamin netralitas tempat-tempat ibadah
untuk aktivitas politik, upaya pengkafiran pun dianggap sebagai sebuah
kejahatan.
Ironisnya, Tunisia yang sekuler ini sudah jauh hari didukung partai
An Nahdah yang oleh media Barat kerap disebut Islamis. Jauh sebelumnya,
Rasyid al-Ghannouchi, pemimpin An-Nahdhah mengatakan partainya puas
dengan klausa pertama yang ada di konstitusi lama Tunisia, yang
mengidentifikasi Islam sebagai agama negara tapi tidak tidak secara
khusus mengacu pada syariah.
Dengan bangga al-Ghannouchi menyatakan pihaknya telah membuat
konsesi besar mengenai banyak pasal dalam konstitusi baru terutama
dengan tidak bersikeras bahwa Syariah (hukum Islam) harus dinyatakan
dalam konstitusi sebagai sumber utama perundang-undangan.
Ghannouchi juga mengatakan bahwa Ennahda menunjukkan fleksibilitas
mengenai ayat yang mencakup kesetaraan antara pria dan wanita. An
Nahdhoh pun tampak dalam posisi membela diri dengan mengatakan partainya
lebih mendukung konsep negara sipil dan bukan islamisiasi.
Sikap yang berbeda ditampakkan Barat terhadap umat Islam Suriah yang
menginginkan syariah Islam dan tegaknya Khilafah di negaranya. Barat
serentak melakukan serangan secara massif , baik secara pemikiran maupun
militer dengan dibantu agen-agen mereka. Para mujahidin dituding
teroris dan diblowup sebagai anasir asing yang mengacaukan Suriah.
Menlu Rusia Sergei Lavrov dalam interview dengan TV Channel “Rusia
24” mengingatkan rakyat Suriah apakah mereka berjuang di pihak yang
ingin mengubah Suriah menjadi negara Khilafah atau berpihak kepada
negara federasi sekuler.
Barat menutupi realita, keberadaan mujahidin di Suriah, tidak lain
untuk melindungi dan membebaskan rakyat Suriah yang dizolimi rezim
Assad. Tekanan ini muncul setelah rakyat Suriah menuntut agar Assad
mundur. Pembantaian tidak manusiawi yang dilakukan rezim Assad.
Barat dengan berbagai strategi berupaya menggagallkan proyek
penegakan Khilafah di Suriah. Melalui jalan diplomasi, konferensi Jenewa
II merupakan roadmap untuk pemerintahan transisi Suriah yang pro Barat
sekaligus tetap menjaga sistem sekuler warisan rezim Assad.
Kriminalisasi terhadap mujahidin pun secara sistemik dilakukan dengan
tuduhan teroris.
Untuk mencegah dukungan rakyat terhadap para pejuang Islam yang
menolak tawaran-tawaran dari Barat, rezim Assad dengan pembiaran
negara-negara Barat melakukan tekanan dengan tindakan keji di
daerah-daerah yang merupakan basis pendukung mujahidin seperti Allepo
(halab) dan Homs. Mereka berharap dengan penderitaan yang luar biasa,
rakyat kemudian kehilangan asa dan akhirnya mendukung Barat.
Perlu dicatat, upaya menghalangi keinginan umat untuk menegakkan
syariah dan Khilafah tidak akan menghentikan perjuangan umat .
Sebaliknya, justru akan menjadi pintu bagi revolusi kedua Timur Tengah.
Umat akhirnya akan memfokuskan diri berjuang di luar sistem demokrasi.
Demokrasi juga dianggap sebagai sistem politik yang penuh dengan tipu
daya dan tidak bisa lagi dipercaya. Sistem ini tidak akan pernah sampai
kapanpun berpihak pada umat.
Timur Tengah yang sekuler dengan pemerintah otoriter yang dimaklumi
Barat, dipastikan akan gagal. Sebab perubahan Timur Tengah masih
melestarikan biang masalah di negeri-negeri Islam, yaitu kapitalisme
sekuler dengan penguasa boneka represif dan korup yang dilindungi
Barat. Kondisi ini akan memicu kelahiran gelombang revolusi kedua di
Timur Tengah. Gelombang revolusi kedua, yang tidak lagi percaya pada
tawaran-tawaran demokrasi . Revolusi dengan tuntutan yang jelas yaitu
penegakan Khilafah.
Revolusi yang bersifat global yang akan menggoncang dunia, karena
akan menyatukan negeri-negeri Islam dan merontokkan satu persatu
penguasa-penguasa boneka lindungan Barat. Hingga akhirnya menikam
peradaban busuk Barat tepat pada jantungnya. Bisakah Barat yang semakin
renta akibat krisis kapitalis akut mampu menghadapi semua ini ? (Farid
Wadjdi)
No comments:
Post a Comment