Konsep jaminan kesehatan nasional tersebut berasal dari kaum kafir penjajah yang dipaksakan atas kaum Muslimin Indonesia.
Konsep Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini berakar dari suatu
pandangan yang bersifat neoliberalistik. Konsep ini berusaha
menghilangkan peran negara/pemerintah dalam mengurus rakyat. Konsep ini
menegaskan bahwa layanan kesehatan dianggap lebih baik diselenggarakan
melalui asuransi sosial daripada diselenggarakan oleh pemerintah.
Dengan kata lain, JKN pada dasarnya adalah pengalihan tanggung jawab
penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang asalnya ada di pundak
pemerintah, lalu dipindahkan ke pundak institusi yang dianggap
berkemampuan lebih tinggi dalam membiayai kesehatan atas nama peserta
jaminan sosial. Institusi yang dimaksud, untuk konteks Indonesia, adalah
BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial).
Pandangan Hukum Islam
Berdasarkan fakta tersebut, dalam pandangan hukum Islam, haram
hukumnya pemerintah menyelenggarakan jaminan kesehatan nasional
berdasarkan UU No 40 Tahun 2004 Tentang SJSN (Sistem Jaminan Sosial
Nasional) dan UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS (Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial).
Ada lima alasan keharamannya, yakni:
Pertama, karena konsep jaminan kesehatan
nasional tersebut bukanlah peraturan syariah Islam, melainkan peraturan
hukum kufur. Yang disebut hukum kufur, menurut Imam Taqiyuddin An
Nabhani, adalah setiap hukum yang bukan hukum syariah Islam. (kullu hukmin ghairi syar’iyyin huwa hukmu kufrin). (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, Beirut : Darul Ummah, 2004, hlm. 136).
Padahal seorang Muslim, siapapun dia, baik rakyat atau
penguasa/pemimpin, haram hukumnya menerapkan hukum kufur, dan sebaliknya
wajib menerapkan syariah Islam saja, bukan hukum yang lain. Banyak ayat
Alquran dan hadits yang menegaskan hal tersebut.
“Dan barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah (Syariah Islam), maka mereka adalah orang-orang yang
zalim.” (TQS Al Maa`idah : 45).
Padahal hukum Islam itulah hukum yang terbaik, bukan hukum buatan
manusia. Hukum buatan manusia inilah yang dalam Al Qur`an disebut dengan
hukum Jahiliyyah/hukum thaghut. Firman Allah SWT:“Apakah
hukum Jahiliyyah yang mereka kehendaki. Dan (hukum) siapakah yang lebih
baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al Maaidah : 50).
Kedua, karena konsep jaminan kesehatan
nasional tersebut berasal dari kaum kafir penjajah yang dipaksakan atas
kaum Muslimin Indonesia. Pemaksaan kaum kafir tersebut dapat menimbulkan
dominasi kaum kafir penjajah atau antek-anteknya atas kaum Muslimin.
Pada waktu yang sama pemaksaan itu dapat menghilangkan kedaulatan kaum
Muslimin untuk mengatur negeri sendiri berdasarkan hukum syariah Islam.“Dan sekali-kali Allah tidak akan menjadikan suatu jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman.” (QS An Nisaa` : 141).
Ketiga, karena konsep jaminan kesehatan nasional tersebut akan menimbulkan mudharat,
yaitu semakin beratnya beban hidup masyarakat, akibat pemaksaan iuran
bulanan yang akan diambil secara paksa oleh BPJS. Padahal Islam adalah
ajaran yang mengharamkan segala bentuk mudharat, termasuk mudharat dalam bentuk iuran paksa yang menimbulkan beban tambahan atas rakyat yang sudah menderita selama ini.
Sabda Rasulullah SAW : “Tidak boleh menimbulkan mudharat (bahaya) bagi diri sendiri dan juga mudharat (bahaya) bagi orang lain di dalam ajaran Islam.” (HR Ibnu Majah no 2340; Ahmad 1/133 & 5/326).
Allah SWT juga sudah mengingatkan agar umat Islam selalu mewaspadai
kaum kafir yang memang selalu ingin menimbulkan mudharat bagi kita umat
Islam.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman
kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (kaum kafir), karena
mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka
menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut
mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi.” (QS Ali ‘Imran : 118).
Keempat, karena konsep jaminan kesehatan
nasional tersebut bertentangan dengan Islam dalam hal peran negara.
Konsep JKN adalah konsep kafir yang berusaha untuk menghilangkan peran
dan tanggung jawab negara dalam mengurus rakyat, termasuk urusan jaminan
kesehatan.
Sementara dalam ajaran Islam, negara mempunyai peran sentral dan
sekaligus bertanggung jawab penuh dalam segala urusan rakyatnya,
termasuk urusan kesehatan. Hal ini didasarkan pada dalil umum yang
menjelaskan peran dan tanggung jawab seorang Imam / Khalifah (kepala
negara Islam) untuk mengatur seluruh urusan rakyatnya. Sabda Rasulullah
SAW: “Pemimpin yang mengatur urusan manusia (Imam/Khalifah) adalah
bagaikan penggembala, dan dialah yang bertanggung jawab terhadap
rakyatnya (gembalaannya).” (HR Bukhari no 4904 & 6719; Muslim no 1827).
Kelima, karena konsep jaminan kesehatan
nasional tersebut bertentangan dengan jaminan kesehatan dalam Islam.
Dalam JKN, jaminan kesehatan diperoleh oleh rakyat harus dengan membayar
iuran yang dipaksakan (asuransi sosial). Sedang dalam Islam, jaminan
kesehatan diperoleh oleh rakyat dari pemerintah secara gratis
(cuma-cuma), alias tidak membayar sama sekali. Dalam ajaran Islam,
negara wajib hukumnya menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma,
tanpa membebani rakyat untuk membayar. Dalam Shahih Muslim diriwayatkan sebagai berikut: Dari
Jabir RA, dia berkata,”Rasulullah SAW telah mengirim seorang dokter
kepada Ubay bin Ka’ab (yang sedang sakit). Dokter itu memotong salah
satu urat Ubay bin Ka’ab lalu melakukan kay (pengecosan dengan besi
panas) pada urat itu.” (HR Muslim no 2207).
Dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW sebagai kepala negara Islam
telah menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, dengan cara
mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya dari
rakyatnya itu. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 2/143).
Terdapat pula hadits lain dengan maksud yang sama, dalam Al Mustadrak ‘Ala As Shahihainkarya Imam Al Hakim, sebagai berikut :
“Dari Zaid bin Aslam dari ayahnya, dia berkata,”Aku pernah sakit
pada masa Umar bin Khaththab dengan sakit yang parah. Lalu Umar
memanggil seorang dokter untukku, kemudian dokter itu menyuruhku diet
(memantang memakan yang membahayakan) hingga aku harus menghisap biji
kurma karena saking kerasnya diet itu.” (HR Al Hakim, dalam Al Mustadrak, Juz 4 no 7464).
Hadits ini juga menunjukkan, bahwa Umar selaku khalifah
(kepala negara Islam) telah menjamin kesehatan rakyatnya secara gratis,
dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa meminta
sedikitpun imbalan dari rakyatnya. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 2/143).
Kedua hadits di atas merupakan dalil syariah yang shahih, bahwa dalam
Islam jaminan kesehatan itu wajib hukumnya diberikan oleh negara kepada
rakyatnya secara gratis, tanpa membebani apalagi memaksa rakyat
mengeluarkan uang untuk mendapat layanan kesehatan dari negara.
Namun hal ini tak berarti bahwa jasa dokter swasta atau membeli obat
dari apotek swasta hukumnya haram. Karena yang diperoleh secara gratis
adalah layanan kesehatan dari negara. Adapun jika layanan kesehatan itu
dari swasta (bukan pemerintah), misalnya dari dokter praktek swasta atau
membeli obat dari apotik umum (bukan apotek pemerintah), maka hukumnya
tetap boleh membayar jasa dokter atau membeli obat dari apotek swasta
tersebut. Hal ini didasarkan pada dalil umum bolehnya berobat dengan
membayar dan dalil umum bolehnya jual beli. (Taqiyuddin An Nabhani,Muqaddimah Ad-Dustur, 2/143). [] Shiddiq al Jawi
No comments:
Post a Comment