[Al-Islam edisi 691, 29 Rabiul Awal 1435 H – 31 Januari 2014 M]
Seorang calon presiden butuh dana hingga Rp 3 triliun untuk mengikuti
pemilihan presiden di Indonesia. Hal ini karena capres sudah harus
bergerak sebelum rangkaian kampanye yang ditetapkan KPU. ”Dana yang
dilaporkan ke KPU hanya Rp 300 miliar-Rp 500 miliar. Ini karena
penghitungan dimulai sejak tahapan resmi KPU dimulai”, kata Ketua
Balitbang Partai Golkar Indra J Piliang di Jakarta, Sabtu (25/1).
Dana triliunan rupiah itu digunakan untuk membiayai perjalanan
sosialisasi, relawan, logistik partai, pertemuan dengan ormas, survei,
dan iklan. ”Proporsi untuk iklan cukup banyak karena bisa menjangkau
seluruh Indonesia. Hanya turun ke lapangan saja tidak akan efektif,”
ujar Indra. (kompas.com, 26/1).
Menurut Pengamat politik dari Charta Politika, Arya Fernandes, ada
tiga faktor yang membuat biaya capres makin mahal (inilah.com, 26/1).
Pertama, adanya perubahan model kampanye dengan pemilihan presiden
secara langsung. Menurutnya, perubahan ini membuat biaya politik sangat
mahal. Yang diuntungkan orang-orang yang punya duit banyak.
Faktor kedua, munculnya iklan di televisi yang menjadi alat efektif
untuk pengaruhi pemilih dan jangkauannya yang luas. Arya mencontohkan,
dana kampanye Obama (Presiden AS) setelah 2008, sebanyak 54% habis di
iklan. Menurutnya, di 2014 nanti, setengah dana capres juga akan habis
di iklan.
Faktor ketiga, pergeseran politik yang makin personal, maka orang
makin butuh personal branding (pencitraan personal). Semua itu butuh
biaya. Biaya mahal juga dibutuhkan bagi siapa saja yang maju dalam
pemilu legislatif.
Mahalnya biaya capres bukan hanya terjadi di negeri ini. Mahalnya
biaya menjadi pemimpin bisa jadi merupakan karakteristik sistem politik
demokrasi. Di negara yang demokrasinya dianggap lebih maju, biaya
pencapresan juga sangat mahal.
Di Amerika Serikat misalnya, menurut Center for Responsive Politic (http://www.opensecrets.org/pres12/)
pada pemilu presiden 2012 lalu dana yang dibelanjakan oleh tim kampanye
Mitt Romney, calon dari Republik yang kalah mencapai US$ 1,238 miliar
atau sekitar Rp 12,38 triliun (1 US$= Rp 10.000). Sementara belanja tim
kampanye Obama mencapai US 1,107 miliar dolar atau sekitar Rp 11.07
triliun.
Sementara itu Politico melaporkan bahwa ketua Federal
Election Commission Ellen Weintraub mengumumkan belanja pemilu di AS
tahun 2012 mencapai US$ 7 miliar. Terdiri dari total belanja kandidat
US$ 3,2 miliar, belanja partai US$ 2 miliar dan belanja grup luar
(organisasi pendukung) US 2,1 miliar (http://www.motherjones.com/mojo/2013/02/2012-election-cost-7-billion-obama-romney).
Obama pada tahun 2008 membelanjakan US$ 730 juta atau sekitar Rp 7,3
triliun untuk menjadi presiden AS. Jumlah itu dua kali jumlah yang
dibelanjakan oleh George Bush pada tahun 2004 dan lebih dari 260 kali
yang dibelanjakan Abraham Lincoln pada tahun 1860 (jika dihitung dengan
dolar pada tahun 2011).
Biaya besar juga masih tetap dibutuhkan untuk pencapresan di
Perancis. Padahal biaya pencapresan di Perancis dianggap sangat murah.
Sebab belanja kampanye dibatasi oleh Undang-undang, termasuk tidak boleh
ada iklan di televisi dan setiap kandidat diberi dana kampanye oleh
negara sebesar 8 juta Euro. Meski demikian, pada tahun 2007 Sarkozy
untuk memenangi pemilu dan menjadi presiden harus membelanjakan 21 juta
Euro. Sementara lawannya seorang sosialis Ségolène Royal membelanjakan
20 juta Euro (http://www.huffingtonpost.com/sophie-meunier/france-election-laws_b_1438456.html)
Kompensasi
Pertanyaannya, dari mana dana sebesar itu? Dana sebesar itu sebagian
bisa berasal dari kantong kandidat sendiri. Sebagian lainnya berasal
dari donor, baik perusahaan atau individu, termasuk sumbangan
kecil-kecil dari individu.
Ada pepatah, tidak ada makan siang gratis. Semua donasi itu, terutama
yang berasal dari perusahaan atau individu kapitalis/pemilik modal,
tentu tidak gratis, melainkan harus diberi kompensasi baik langsung
maupun tidak langsung. Dalam hitungan kapitalis, donasi itu merupakan
investasi yang harus kembali beserta keuntungan.
Kompensasi kepada para pemodal kampanye itu bisa diberikan secara
langsung dalam bentuk proyek-proyek. Karena itulah, kenapa tak jarang
terdengar atau terungkap adanya pengaturan proyek untuk pihak-pihak
tertentu baik di tingkat legislatif maupun eksekutif.
Kompensasi juga bisa diberikan secara tidak langsung. Yaitu dengan
jalan dibuat kebijakan-kebijakan, peraturan dan undang-undang yang
mengakomodasi kepentingan-kepentingan kapitalis. Contohnya, pemberian
berbagai fasilitas fiskal, keringanan pajak, pajak ditanggung negara,
pembebasan bea, dan sebagainya. Atau kebijakan pemberian konsesi
pengusahaan tambang, hutan, perkebunan dan sebagainya. Dan jika perlu
peraturan diubah untuk mengakomodasinya. Bisa juga dalam bentuk
peraturan yang membuka jalan bagi investasi kapitalis secara leluasa,
seperti berbagai peraturan dan undang-undang liberal misal, UU penanaman
modal, UU Migas, UU kelistirikan, UU Minerba, UU pengadaan tanah, UU
SJSN dan BPJS, dan sebagainya.
Akibatnya, negara pun menjadi korporatokrasi di mana pemerintahan dan
pengaturan negara dilakukan layaknya perusahaan. Hubungan rakyat dengan
pemerintah tidak lagi hubungan pelayanan dan ri’ayah, tetapi menjadi
seperti hubungan dagang, di mana pemerintah bertindak sebagai pedagang
dan rakyat diposisikan sebagai konsumen. Akibat lainnya, kekayaan alam
yang semestinya menjadi milik seluruh rakyat akhirnya diserahkan kepada
swasta. Keuntungannya lebih banyak untuk kemakmuran para kapitalis. Di
sisi lain, berbagai subsidi untuk rakyat pun dikurangi dan jika mungkin
dihilangkan. Makin besarnya biaya politik baik untuk capres maupun
caleg, maka corak korporatokrasi itu ke depan akan makin kental.
Kepentingan rakyat akan makin terpinggirkan.
Konsekuensi
Mahalnya biaya politik menjadi capres dan caleg itu juga akan
melahirkan konsekuensi berupa pengembalian modal yang dikeluarkan oleh
calon. Jika jalan legal yang ditempuh, maka akan ada pelegalan agar
penguasa dan politisi (anggota legislatif) memiliki penghasilan legal
yang besar. Setidaknya kecenderungan seperti itu telah berkali-kali
tampak. Misalnya dalam berbagai usulan agar gaji anggota legislatif atau
gaji pejabat termasuk presiden dinaikkan. Jika pun gaji tidak naik,
maka penghasilan yang bisa dibawa ke rumah oleh seorang pejabat akan
dibuat sebesar mungkin.
Saat ini, ternyata penghasilan gubernur dan wakil gubernur bisa
dibilang sangat besar dan semuanya legal menurut peraturan yang ada. Hal
itu bisa seperti yang dirilis oleh LSM Forum Indonesia untuk
Transparansi Anggaran (Fitra) tentang pendapatan yang diterima gubernur
dan wakil gubernur (wagub) dalam sebulan
(http://news.liputan6.com/read/761648/10-gubernur-gaji-tertinggi-jokowi-teratas-riau-terbuncit).
Menurut Knowledge Manager Fitra Hadi Prayitno, penghasilan gubernur
dan wagub yang besar, datang dari gaji pokok yang dilipatgandakan. Hal
itu sesuai PP Nomor 69 Tahun 2010, dan tunjangan operasional berdasarkan
PAD (Pendapatan Asli Daerah) sesuai PP no 109 Tahun 2000. Makin besar
PAD, penghasilan gubernur dan wagub akan makin besar. Data FITRA itu
menyebutkan diantaranya penghasilan perbulan Gub. DKI Jakarta Rp 1,759
miliar dan Wagub Rp 1,740 miliar; Gubernur Jabar Rp 710,026 juta dan
Wagub Rp 691,546 juta; Gubernur Jatim Rp 670,843 juta dan Wagub Rp
655,723 juta. Angka itu adalah angka penghasilan berasal dari gaji,
tunjangan dan pendapatan lainnya sesuai peraturan.
Konsekuensi dari mahalnya biaya politik itu, ke depan akan bisa
disaksikan dibuatnya peraturan dan UU yang memberikan gaji, tunjangan,
fasilitas dan penghasilan yang makin besar untuk penguasa dan anggota
legislatif. Para penguasa dan politisi akhirnya tidak lagi berperan
sebagaimana seharusnya yaitu sebagai pemelihara dan pelayan umat, tetapi
justru menjadi tuan bagi rakyat dan rakyat diposisikan sebagai pelayan.
Padahal peran penguasa adalah memelihara dan mengatur urusan-urusan
rakyat. Kepentingan dan kelaslahatan rakyat haruslah dikedepankan dan
diutamakan, bukan kepentingan pribadi. Rasul saw bersabda:
«فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ»
“Dan seorang pemimpin adalah pemelihara kemaslahatan masyarakat dan dia bertanggungjawab atas mereka.” (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad)
Konsekuensi lain dari mahalnya biaya politik itu, adalah terjadinya
korupsi, kolusi, manipulasi dan sejenisnya, untuk mengembalikan modal
yang dikeluarkan. Sudah menjadi anekdot bahwa dalam lima tahun menjabat,
dua tahun awal untuk mengembalikan modal dan dua tahun terakhir untuk
mengumpulkan modal bagi proses politik berikutnya. Dalam Islam hal itu
adalah haram dan dilarang keras, bahkan pelakunya diancam tidak akan
masuk surga. Rasul saw bersabda:
«مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ
رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إلَّا
حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ»
Tidaklah seorang hamba diserahi Allah mengurus urusan rakyat, dia
mati dan pada hari kematiannya ia menipu rakyatnya, kecuali Allah
haramkan baginya surga (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad)
Wahai Kaum Muslimin
Semua itu akan berujung pada terjadi kerusakan akibat kebijakan,
peraturan dan perundangan yang bercorak liberal kapitalistik
berlandaskan ideologi sekuler. Juga akibat perilaku buruk dan merusak
yang dilakukan oleh para penguasa, pejabat dan politisi.
Tidak ada jalan untuk memperbaiki dan menyelamat masyarakat dari
semua kerusakan itu kecuali dengan kembali kepada petunjuk dan aturan
yang diturunkan oleh Allah yang Maha Bijaksana. Dan itu tidak lain
adalah dengan menerapkan syariah secara total di bawah naungan sistem
politik yang digariskan oleh Islam yaitu Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj
an-Nubuwwah.[]
Komentar:
Kepala PPATK M Yusuf mengatakan transaksi mencurigakan di partai
politik meningkat 20-25 persen menjelang pelaksanaan pemilu. (Republika,
28/1)
- Itu terjadi akibat sistem politik yang berbiaya mahal. Itu adalah awal dari persekongkolan politisi-pemodal dan menguatnya korporatokrasi. Itulah salah satu sumber kebobrokan sistem poltiim demokrasi.
- Akibatnya, kepentingan rakyat terpinggirkan dan sumber daya kekayaan milik rakyat diserahkan kepada swasta. Rakyat tinggal gigit jari.
- Hanya dengan sistem politik Islam dalam naungan khilafah saja, penguasa, pejabat dan politisi akan benar-benar memperhatikan urusan rakyat; dan kekayaan milik rakyat benar-benar untuk kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat.
No comments:
Post a Comment