Tanya :
Ustadz, apa hukumnya jika ada seorang Muslim yang melecehkan
kewajiban khilafah, misalnya mengatakan ajaran wajibnya Khilafah akan
melahirkan generasi teroris/radikal?
Arief, Bogor
Jawab :
Melecehkan wajibnya khilafah termasuk perbuatan yang disebut istikhfaaf bi al ahkam al syar’iyyah (penghinaan terhadap hukum-hukum syariah Islam). (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 3/251).
Para fuqaha telah sepakat barangsiapa menghina hukum-hukum syariah
Islam, dalam kedudukannya sebagai hukum syariah, seperti melecehkan
wajibnya sholat, zakat, haji, puasa Ramadhan; atau melecehkan
sanksi-sanksi pidana Islam, misalnya wajibnya hukum potong tangan bagi
pencuri, wajibnya hukum dera (cambuk) bagi pezina, dan sebagainya, maka
orang itu dihukumi telah kafir (murtad), yaitu sudah keluar dari agama
Islam dan wajib dihukum mati jika tak bertaubat kepada Allah SWT. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 3/251).
Dalilnya antara lain firman Allah SWT (yang artinya) : “Katakanlah,
’Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu
berolok-olok?’ Tak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah
beriman.” (TQS At Taubah [9] : 65-66). (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 3/249).
Namun para fuqaha memberi catatan, perkataan yang dapat memurtadkan pengucapnya ada dua macam; Pertama, perkataan yang maknanya pasti/tegas (jaazim) atau sharih
(terang-terangan), yaitu perkataan yang hanya mempunyai satu pengertian
dan tak dapat ditakwilkan/diartikan dengan maksud lain (maa laa yahtamilu al ta`wiil).
Siapa saja yang mengeluarkan perkataan jenis pertama ini, misalnya
mengatakan Nabi Isa as adalah anak Allah, atau agama Islam adalah
karangan Nabi Muhammad SAW sendiri, dan yang semisalnya, dia dihukumi
telah kafir.
Kedua, perkataan yang maknanya tak pasti atau ucapan kinayah
(sindiran), yakni perkataan yang memungkinkan lebih dari satu maksud,
atau perkataan yang dapat ditakwilkan/diartikan dengan maksud lain (maa yahtamilu al ta`wiil).
Siapa saja yang mengucapkan perkataan jenis kedua ini, tak dapat
dikafirkan. Syeikh Abdurrahman Al Maliki berkata, ”Meskipun suatu ucapan
mengandung peluang kekufuran 99 persen dan peluang keimanan hanya 1
persen, namun dikuatkan yang 1 persen daripada yang 99 persen, karena
yang 1 persen itu adalah peluang keimanan. Sebab dengan adanya 1 persen
peluang keimanan, perkataan kufur dapat ditakwilkan. Karena seseorang
tak dapat dikafirkan dengan perkataannya, kecuali dengan perkataan kufur
yang pasti.” (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 85).
Perlu kami tambahkan, bahwa ketidaktahuan terhadap hukum syariah Islam (al jahlu bi al ahkam al syar’iyyah) dapat menjadi unsur pemaaf (‘udzur syar’i)
jika seorang Muslim dan orang-orang yang semisal orang itu (keluarga,
teman, kolega, dsb), memang tak mengetahui suatu hukum syariah Islam
dikarenakan satu dan lain hal. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 175).
Berdasarkan penjelasan di atas, Muslim yang melecehkan kewajiban
khilafah dihukumi sesuai dengan fakta pengucapnya dan maksud
perkataannya sebagai berikut :
Pertama, Muslim yang melecehkan wajibnya khilafah, sedang
dia tahu khilafah hukumnya wajib menurut syariah Islam, dan perkataannya
pasti/tegas dan tak dapat diartikan kepada maksud lain, maka tak
diragukan lagi orang itu dihukumi kafir.
Kedua, Muslim yang melecehkan wajibnya khilafah, sedang dia
tahu khilafah hukumnya wajib menurut syariah Islam, namun perkataannya
dapat diartikan kepada maksud lain, maka orang itu tak dihukumi kafir.
Ketiga, Muslim yang melecehkan wajibnya khilafah, sedang dia
tak tahu bahwa khilafah hukumnya wajib menurut syariah Islam, maka
orang itu tak dihukumi telah kafir, baik perkataannya pasti maupun dapat
ditakwilkan.
Tapi meski Muslim yang melecehkan kewajiban khilafah tak dikafirkan
(jika masuk kategori kedua dan ketiga di atas), dia tetap berdosa besar.
Karena paling tidak dia telah menghina sesama Muslim yang
memperjuangkan khilafah. Padahal menghina sesama Muslim telah diharamkan
Islam. (QS Al Hujuraat [49] : 11). Wallahu a’lam. (Ustadz Sidhdhiq al Jawie)
No comments:
Post a Comment